Jualan Barbeque untuk Bantu Biaya Tim ke Surabaya

11 September 2009 

Tulisan di bawah ini adalah tulisan atau mungkin tepatnya catatan perjalanan Azrul Ananda, Wakil Direktur Jawa Pos dan Commissioner DetEksi Basketball League (DBL), ke Australia memenuhi undangan untuk mengikuti special program dari pemerintah Negeri Kanguru itu.

AZA AUSTRALIA 09

Di Darwin, basket dikembangkan secara swasta. Koran lokalnya sedang berupaya menemukan format baru. Plus, di sana kita bisa mengagumi (dan gemetaran) melihat buaya-buaya berukuran hingga enam meter!

Azrul Ananda, Darwin

Darwin punya pantai cukup indah. Di dekat kota juga ada Sungai Adelaide yang lebar, seru untuk dijelajahi naik perahu. Tapi kita harus hati-hati. Bahkan, pantainya bukan untuk berenang atau berjemur. Sebab, buaya ada di mana-mana. Dan bukan sekadar buaya biasa, melainkan buaya-buaya yang ukurannya mencapai enam meter!

Sebelum kita bicara soal buaya, saya ingin mengucapkan terima kasih khusus dulu kepada Darwin Basketball Association (DBA). Pada Oktober nanti, mereka akan mengirimkan tim mudanya ke Surabaya, bertanding melawan tim All-Star dari DetEksi Basketball League (DBL), liga basket pelajar terbesar di Indonesia.

Kerja sama ini merupakan bukti konkret hubungan people to people antara Indonesia dan Australia, tanpa campur tangan pemerintah sama sekali. Dari DBA, kita juga bisa belajar bagaimana sebuah perusahaan swasta bisa membuat basket begitu maju di sebuah kota yang berpenduduk hanya 120 ribu orang.

Sama seperti DBL yang berbasis di Surabaya, DBA adalah perusahaan swasta murni. Sama sekali tidak mendapat sokongan dari pemerintah. Karyawan full time-nya pun hanya empat orang. Seorang executive officer (CEO), development manager, finance manager, dan seorang bagian umum.

Di luar itu, seluruh kru pendukungnya bersifat part time atau volunteer (relawan).
Namun, mereka mampu menyelenggarakan kompetisi secara rutin, mulai anak-anak sampai dewasa. Setiap tahun mereka juga mengirim ratusan pemain (dari berbagai usia) untuk bertanding di berbagai negara.

Eksistensi DBA merupakan bukti konkret betapa organisasi basket tak harus mengikuti jalur resmi dari pusat. Dengan berdiri sendiri, DBA bisa lebih cepat membuat keputusan, lebih lincah bergerak mengembangkan diri.

Bahwa DBA independen bukan berarti terpisah dari sistem pusat. Secara resmi, mereka masih bergerak di bawah Basketball Australia. Dan pemerintah setempat memberikan support besar, menyediakan infrastruktur yang memadai.

Pemerintah membangunkan DBA Stadium, sebuah kompleks yang terdiri atas lima lapanganindoor. Dua berfasilitas AC, tiga tidak. Lapangan utama dilengkapi tribun yang menampung lebih dari 500 penonton. Stadion ini terletak di sebelah Marrara Indoor Stadium, yang lebih besar dan mewah (kapasitas sekitar 1.500 penonton).

Untuk pemakaian gedung, pemerintah sama sekali tidak meminta pungutan dari DBA. Dengan catatan, DBA melakukan perawatan dan menggunakannya secara maksimal. “Kalau kami bangkrut, maka pemerintah akan mengambil alih lagi stadion ini,” jelas Allan Hilzinger, Executive Officer DBA.

Konsep ini menarik juga. Dan mungkin bisa ditiru di Indonesia. Banyak yang tahu, kota-kota di Indonesia sebenarnya punya banyak gedung-gedung berstandar lumayan tinggi. Banyak juga yang tahu, gedung-gedung itu sama sekali tidak terawat (dengan berbagai alasan khas pemerintah yang tidak perlu ditulis di sini).

Kalau pemerintah mampu membangun, tapi tak mampu merawat, mengapa tidak dipercayakan saja kepada swasta? Karena gedungnya “dipinjami,” maka pihak swastanya tak perlu menyewakan terlalu mahal. Itu kemudian berdampak mempermudah penyelenggaraan-penyelenggaraan even di sana, menstimulasi perkembangan olahraga yang bersangkutan.

Dari mana DBA mendapat pemasukan? Macam-macam. Yang utama adalah dari keanggotaan. Saat ini, tercatat sekitar 2.000 anggota DBA dari berbagai usia. Mereka membayar iuran yang terjangkau untuk ukuran Darwin (sekitar 60 dollar Australia). Plus iuran tambahan kalau ikut kompetisi-kompetisi khusus.

Untuk mengirim tim ke Surabaya Oktober mendatang misalnya. Setiap anggota yang berminat (yang usianya sesuai) tinggal membayar jumlah tertentu, membantu biaya penerbangan dan lain-lain.

Kemudian, biaya tambahan dicari dengan cara lain. Misalnya selama penyelenggaraan Top End Challenge, turnamen pramusim National Basketball League (NBL), liga paling bergengsi di Australia.

Pihak DBA buka stan barbeque. Menawarkan sandwich berisikan sosis, bacon, atau steak berharga masing-masing 5 dollar Australia. Pihak DBA juga buka meja undian. Penonton membeli tiket undian seharga 2 dollar Australia. Kalau beruntung, mendapatkan salah satu dari sekian banyak bola basket bertanda tangan bintang-bintang NBL.

Di meja pelayanan barbeque dan undian dipasangi banyak tulisan: “Semua penghasilan akan digunakan untuk keperluan tim DBA ke Surabaya.”

Selain itu, DBA juga mendapatkan dana dari sponsor. Salah satu yang besar adalah Darwin Airport Resort, hotel populer yang terletak di sebelah bandara internasional (dan tak jauh dari kompleks olahraga).

Bayangkan seandainya kota-kota “kecil” di Indonesia bisa menerapkan sistem ini. Kalau merasa tidak mendapat perhatian cukup dari pusat, bikin saja organisasi swasta. Lalu kerja keras, mencari cara untuk hidup sendiri dan tak mengomel seandainya merasa kurang diperhatikan dari pusat. Juga tidak malu “minta-minta” sumbangan.

***

Selama di Darwin, saya sempat diajak mengunjungi Northern Territory News, satu-satunya harian (berukuran tabloid) di Darwin. Tentu saja, dalam pertemuan ini saya “melepas topi basket,” menjadi wakil dari Jawa Pos (media di Indonesia).

Harian ini cukup unik. Meski satu-satunya di Darwin, harian ini cenderung bergaya sensasionalistis ala tabloid gosip atau koran kuning. Setiap hari, yang jadi headline selalu berita-berita aneh-aneh. Misalnya, “Ada Ular di Toilet.” Sampai ada guyonan, kalau tidak berkaitan dengan buaya atau ular, maka tak layak masuk halaman depan.

Untung itu kurang lebih hanya di halaman depan. Halaman-halaman dalamnya sendiri tergolong harian “standar,” dengan berita nasional, ekonomi, kota, dan olahraga.

Ternyata, ada alasan harian itu memilih jalur sensanionalistis. Menurut Evan Hannah, sang General Manager, hanya empat persen pembacanya adalah pelanggan. Sisanya eceran. Makanya, harian beroplah di kisaran 25 ribu eksemplar itu harus punya halaman depan yang mengundang penasaran orang untuk beli.

Saat pertemuan itu, kami pun diskusi tentang masa depan koran, mengejar pembaca muda, dan solusi online. Apa isinya? Maaf, saya tidak akan membahasnya lebih lanjut. Soalnya ada koran-koran lain di luar Jawa Pos Group yang ikut membaca tulisan ini. He he he he…

Yang menarik (dan membanggakan) dari pertemuan ini, dalam beberapa hal media di Indonesia bisa lebih maju dari yang di negara maju!

Agak lucu juga, sebelum pertemuan ini, seorang wakil pemerintah Northern Territory yang menemani minta saya untuk memberi “pencerahan” kepada Northern Territory News. Dia tampak begitu sebal dengan gaya harian itu yang dia anggap terlalu menggosip.

***

Selama kunjungan di Australia ini, jadwal padat memang telah disiapkan. Dalam sehari, bisa ada lima pertemuan dan acara dari pukul 07.30 pagi sampai sore atau malam.

Meski jarak dari Indonesia ke Darwin begitu dekat, perbedaan jamnya cukup membuat saya kesulitan untuk beradaptasi. Sebab, beda antara Darwin dengan Waktu Indonesia Barat (WIB) tidaklah “genap.” Melainkan “ganjil” 2,5 jam. Jadi kalau di Jakarta pukul 12.00, maka di Darwin pukul 14.30. Ini kali pertama saya harus pergi ke tempat yang selisih waktunya ada setengah jam-nya.

Banyak meeting bukan berarti tidak ada kegiatan fun. Paling seru di Darwin? Lihat buaya! Bisa lihat yang liar naik helikopter, lihat di “miniatur kebun binatang” di tengah kota, atau di taman khusus yang lebih luas di pinggiran kota.

Buaya benar-benar hal besar di Australia. Dan buaya di Australia benar-benar besar. Beruntung, saya dapat tiga cara lihat buaya.

Pertama, lewat Crocosaurus Cove, di tengah kota (di dekat pusat perbelanjaan dan perkantoran). Tempat ini merupakan miniatur kebun binatang bagi orang yang tak sempat berkunjung ke tempat lebih besar di pinggir kota atau di alam bebas.

Dengan bayar 28 dollar Aussie, kita bisa menikmatinya setiap hari pukul 08.00 pagi sampai 20.00. Di dalamnya cukup mengesankan. Banyak buaya besar (sampai panjang 5,5 meter) di dalam tangki akuarium raksasa.

Kalau mau bayar 120 dollar ekstra, kita bisa “berenang” bersama buaya-buaya itu. Tidak berenang bebas tentunya. Kita berenang di kolam tangki di sebelah tangki buaya, dipisahkan dinding kaca. Atau, kita dimasukkan ke dalam sebuah sangkar, lalu sangkar itu dimasukkan ke dalam tangki untuk bisa berinteraksi langsung secara aman.

Kurang seru? Kita juga bisa ke Crocodylus Park, tak jauh dari bandara. Ini seperti kebun binatang “normal,” dan punya lebih banyak buaya. Tiket masuk kurang lebih sama, tapi di sini lebih banyak yang bisa didapat.

Di sana, kita bisa melihat show memberi makan buaya (daging ayam digantung di kabel, lalu buaya di danau buatan melompat vertikal untuk memakannya).

Setelah itu, semua pengunjung diberi kesempatan untuk ikut merasakan serunya memberi makan buaya-buaya besar itu (banyak yang panjangnya sampai 5 meter). Cukup mendebarkan juga. Sebab, buaya-buaya itu tampak diam, tapi lantas bergerak vertikal begitu cepat untuk menangkap makanan yang kita gantung di ujung tali.

Ada pula museum buaya, termasuk di dalamnya menceritakan kasus-kasus buaya makan manusia di berbagai penjuru dunia (banyak di Malaysia).

Bagi yang ingin melakukan “pembalasan,” Crocodiylus Park juga menyediakan kafe yang berjualan daging buaya dan produk-produk kulit buaya berlisensi. Ada fillet, ada burger. Katanya daging buaya itu baik, karena rendah lemak dan kolesterol.

Di Crocodylus Park memang ada peternakan buaya, untuk mendapatkan daging dan kulitnya.

Saya tidak mencoba seperti apa daging buaya. Tapi, Broughton Robertson, Wakil Department of Foreign Affairs dan Trade dari Canberra yang mendampingi saya, sempat menjajal burger buaya. Katanya, rasanya seperti daging ayam. Saya balas: “Saya pernah baca kanibal mengaku daging manusia juga terasa seperti ayam.”

Sebenarnya, cara paling seru adalah dengan naik perahu di Adelaide River, tak jauh dari Darwin. Di sana masih banyak buaya berkeliaran liar. Saya, Robertson, dan Donny Rahardian (Basketball Operations Manager DBL Indonesia) diajak menikmati dengan cara lebih seru.

Kami diajak Jeff Blake, seorang pengusaha setempat, naik helikopternya mengelilingi Darwin. Mulanya kami putar-putar di atas kota, lalu menikmati pantai yang indah. Sayang, karena ancaman buaya, pantai tidak direnangi. Untung juga, kalau tidak, pengunjung Bali bakal banyak berkurang!

Sebelum balik ke rumahnya, Blake mengajak terbang ke “alam bebas” di luar kota. Blake menerbangkan helikopter Bell-nya rendah mengikuti alur Adelaide River, dan tak akan berputar balik sampai melihat buaya liar. Untung tidak perlu waktu lama. Saya melihat dua buaya mengapung di tengah sungai.

Darwin memang kota “kecil,” tapi ada banyak yang bisa dinikmati di sana. Dan kelak, pengin juga rasanya mengajak keluarga ke sana. Tenang, santai, dan harga relatif lebih terjangkau. Cocok untuk menjauhkan diri dan menenangkan diri dari kehidupan sehari-hari.

(bersambung)

sumber : http://www.mainbasket.com

Leave a comment