Habis Ini, Apa Lagi Yang Baru?

Selasa, 23 Agustus 2011 , 14:48:00
RASANYA sulit dipercaya.
Jawa Pos, koran yang terbit dari Surabaya, meraih penghargaan tingkat dunia. Tim juri internasional memilih Jawa Pos sebagai peraih gelar tertinggi Newspaper of the Year 2011, di ajang World Young Reader Prize, yang setiap tahun diselenggarakan oleh asosiasi koran dunia, WAN-IFRA.Rasanya sulit dipercaya.
Jawa Pos, koran yang terbit dari Jawa Timur, menang di tingkat dunia. Mengalahkan koran-koran bernama superkondang seperti Wall Street Journal, Chicago Tribune, South China Morning Post, juga koran dengan oplah terbesar di dunia asal Jepang (lebih dari 10 juta eksemplar per hari) Yomiuri Shimbun.Rasanya sulit dipercaya.
Jawa Pos, koran asal Indonesia, pada 12 Oktober nanti akan tampil sebagai peraih penghargaan tertinggi di World Newspaper Congress dan World Editors Forum, di gelaran WAN-IFRA yang beranggotakan lebih dari 18 ribu penerbitan dan 15 ribu situs online di 120 negara di dunia.

Rasanya sulit dipercaya.
Tingkat dunia Bos!

***

Melalui catatan ini, saya mewakili seluruh teman-teman di Jawa Pos ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya seluruh pembaca. Dukungan Anda terhadap Jawa Pos mungkin melebihi dukungan pembaca koran-koran lain di Indonesia, mungkin di dunia.

Bagaimana tidak. Ketika semua koran pesaing menurunkan harga, Jawa Pos malah menaikkan harga, dan Anda tetap memilih untuk membeli atau berlangganan Jawa Pos.

Kadang saya tidak habis pikir. Kalau melihat di jalan-jalan, harga Jawa Pos itu bisa sampai empat kali lipat koran pesaing. Harga bandrol kami Rp 4.500, harga koran lain hanya Rp 1.000. Tapi survei –dari Nielsen Media Research maupun Enciety Business Consult– terus menunjukkan kalau readershare Jawa Pos jauh di atas yang lain.

Khusus di Surabaya, share kami bisa sampai 93 persen. Berarti sembilan dari sepuluh pembaca koran memilih Jawa Pos.

Dan berkat pembaca setia pula, sudah beberapa tahun ini total pembaca Jawa Pos menjadi yang terbanyak di Indonesia (Nielsen). Malah, saat ini Jawa Pos satu-satunya koran dengan jumlah pembaca yang angkanya “nyaman” di atas satu juta orang per hari.

Dukungan pembaca ini yang terus membuat kami bersemangat. Apalagi, mereka begitu setianya, hingga tak pernah lelah memberi masukan-masukan kepada kami. Terus memberikan tantangan, dengan bertanya: “Habis ini apa lagi yang baru?”

Kami juga mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada agen dan penyalur, serta para relasi dan mitra kerja Jawa Pos. Semua terus memberikan dukungan dan kepercayaan, meski kebijakan-kebijakan kami sebagai perusahaan kadang-kadang sulit dipercaya atau dipahami.

Bagaimana tidak. Ketika yang lain menurunkan harga, kami malah menaikkan. Ketika yang lain melonggarkan ketentuan, kami justru mengetati. Tapi seperti yang saya sampaikan kepada agen-agen iklan baru-baru ini:

“Tolong benar-benar dipahami, bahwa kami siap diomeli saat ini demi kebaikan jangka panjang. Kami siap dihujat masa sekarang demi kesuksesan masa depan. Toh tujuannya jelas. Kalau kami baik, semua relasi dan mitra kerja juga akan baik.”

Saya selalu percaya, market leader yang baik adalah market leader yang mau berkorban (meski jangan banyak-banyak!) demi menjaga industrinya. Harus berani bikin kecewa sebentar demi senyum jangka panjang. Kalau market leader-nya banting harga atau awur-awuran, apa jadinya industri tersebut nantinya?

***

Sebenarnya sulit juga jadi media di Indonesia, tapi sebenarnya hampir sama di industri media di mana-mana. Kalau ada satu yang meraih sesuatu yang luar biasa, yang lain bisa diam saja. Terus terang, Jawa Pos pun kadang juga begitu.

Karena itu, di kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh media di Indonesia. Kita semua berkompetisi secara sehat, dan kompetisi itulah yang menghasilkan karya-karya hebat.

Kepada media di bawah bendera Jawa Pos Group, yang kini jumlahnya sudah mendekati total 200 koran dan stasiun televisi dari Aceh sampai Papua, saya ingin memberi ucapan terima kasih khusus.

Keliling Indonesia, melihat dinamika koran-koran di daerah-daerah, memberi suntikan motivasi dan ide supaya Jawa Pos terus berbenah dan mengembangkan diri. Karena ide-ide terbaik kadang muncul dari tempat-tempat yang tidak pernah kita bayangkan.

Ucapan terima kasih istimewa ingin saya sampaikan kepada teman-teman di Kompas. Bagaimana pun, Anda-lah Gold Standard koran di Indonesia. Dan di Wina, Austria, 12 Oktober nanti, kita bakal bersama membuat Indonesia bangga. Karena Kompas juga meraih penghargaan khusus World Young Reader Prize 2011 dari dewan juri di kategori Public Service.

Ayo bersama kita tunjukkan, kalau koran dari Indonesia bisa lebih hebat dari koran-koran lain di dunia! Dan ayo kita semangati koran-koran lain supaya terus berkreasi dan berkembang. Industri koran masih bisa terus menempuh perjalanan panjang yang menyenangkan!

Satu lagi apresiasi ingin saya sampaikan kepada harian olahraga pertama di Indonesia, Top Skor. Anda hebat. Ada koran harian olahraga yang pembacanya di Jabodetabek mampu mengalahkan koran-koran umum, dan secara overall (Nielsen) pada pertengahan 2011 ini berada di urutan tiga di belakang Jawa Pos dan Kompas.

Dan Top Skor melakukannya dengan harga yang sangat sehat. Harga jual Rp 3.500 dengan 16 halaman per hari? Koran Anda sudah mencapai titik sustainability hebat dan sekarang bisa melangkah cepat dan berkembang!

Saya baru bicara dengan Ketua Umum Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) Indonesia, supaya Top Skor diberi penghargaan khusus. Itu koran telah melakukan gebrakan luar biasa.

***

Sebagai penutup, saya dan barisan manajemen Jawa Pos lain ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh personel Jawa Pos. Sukses kita di ajang dunia ini merupakan hasil kerja bersama.

Kepada seluruh personel DetEksi, sekarang maupun yang dulu, terima kasih tak terhingga harus kami ucapkan. Saya dari dulu percaya, departemen dan halaman khusus anak muda Jawa Pos itu bakal mampu meregenerasi pembaca dan membantu mengamankan pembaca masa depan harian ini.

Sudah ada contoh yang menunjukkan, kalau koran bisa hilang ketika pembacanya terus menua dan kemudian “menghilang.” Harus ada halaman seperti DetEksi yang menjaga supaya itu tidak terjadi pada Jawa Pos.

Tapi, tetap saja tak pernah terbayangkan DetEksi bisa berbuah sebuah penghargaan tertinggi dunia.

Begitu mendapat pemberitahuan menang di tingkat dunia, saya langsung mengutarakan kabar luar biasa itu ke John R. Mohn, ayah angkat saya waktu jadi siswa SMA pertukaran di Amerika Serikat dulu.

Kini berusia 70-an tahun, dia dulu yang mengajari saya banyak sekali tentang basic manajemen koran dan jurnalistik, lewat koran kecilnya, The Leader, di Ellinwood, negara bagian Kansas. Dia yang mengajari saya dan teman-teman di Ellinwood High School, bagaimana sekelompok anak muda bisa menghasilkan produk koran yang lebih baik dari garapan para profesional.

Pelajaran itulah yang berbuntut DetEksi, yang kali pertama terbit 26 Februari 2000.

John R. Mohn langsung membalas kabar baik itu. Dia mengingatkan saya –dan seluruh staf muda Jawa Pos– untuk tidak lupa diri.
Dalam emailnya, John bilang: “Penghargaan ini bukan hanya untuk personel DetEksi. Ini juga sebuah tribute untuk seluruh personel Jawa Pos yang lebih senior, yang selama ini harus bersabar dalam menghadapi dan membantu anak-anak muda di DetEksi yang gila-gila!”

Terima kasih semua! (*)

Azrul Ananda, Energi Muda Jawa Pos

 28 February 2012

 oleh Olive Bendon

Lelaki muda berperawakan sedang mengenakan stelan semi resmi celana panjang dipadu dengan kaos sport yang dibalut blazer berwarna gelap lengkap dengan sepatu sport berlari kecil saat namanya dipanggil ke atas panggung. Para ABG yang memenuhi ballroom Pakuwon Indah, Surabaya tak henti-hentinya bertepuk sorak setiap kali dirinya mengobarkan semangat mereka. Selesai memberi sambutan, lelaki muda yang ganteng dan tak pernah lepas tersenyum itu oleh panitia diajak mendekat ke bangku VIP dimana kami duduk. Ya, malam itu kami bersepuluh rombongan penggembira duduk sejajar dengan para petinggi yang diundang ke Grand Final DetEKsi Model Competition 2K9 Jumat (21/11/09). Pertemuan sekejap diisi dengan perkenalan singkat dan karena suasana di dalam ballroom cukup ramai, suara kami bersaing dengan teriakan penonton serta dentuman musik dari pengeras suara.

Lelaki muda tadi lalu pamit dan berpesan kepada panitia agar tak lupa mengajak kami berkeliling serta memastikan,”jadwal kita besok pagi di Gresik kan?” Karena melihat beberapa buku Dahlan Iskan di salah satu toko buku beberapa waktu lalu, saya teringat perjalanan rombongan penggembira ke Surabaya dua tahun silam ini. Waktu itu kami berkesempatan mampir ke dapur redaksi serta melihat dari dekat beberapa kegiatan anak muda yang diadakan oleh Jawa Pos. Kami memang tidak bertemu dengan Dahlan Iskan tapi diajak mutar-mutar di pabrik oleh lelaki muda yang ganteng tadi. Dia adalah Azrul Ananda puteranya yang kala itu commissioner DetEKsi sekaligus Wakil Dirut JP.

Disela berlangsungnya pemilihan DetEksi Model kami juga melihat dari dekat kegiatan DetEKSi Mading Championship. Beragam mading 2D/3D karya siswa dari berbagai SMA di Surabaya dan sekitarnya dipamerkan untuk dinilai oleh juri. Sesekali muncul rombangan siswa yang meneriakkan yel-yel kebangsaan yang juga dilombakan untuk menarik perhatian pengunjung. Tak ketinggalan adalah para ABG yang menenteng beragam jenis kamera untuk mengabadikan momen yang menarik. Mereka tak sekedar memotret tapi sesekali mencatat sesuatu di buku yang selalu ditenteng ke sana kemari.

Ternyata mereka adalah para peserta Blog Competition salah satu kegiatan yang juga dilombakan; hal ini tampak jelas dari tulisan di belakang kaos yang mereka kenakan. Dari Pakuwon, kami bergerak menuju Graha Pena untuk melongok dapur redaksi Jawa Pos hingga jelang pk 24.00. Ternyata seru juga melihat kegiatan di ruang redaksi saat menunggu berita dengan deg-deg’an karena dikejar deadline untuk segera naik cetak. Salah satu berita penting yang mereka nantikan adalah liputan para ABG dari malam puncak acara DetEKsi di Pakuwon.

1330388589807837864

Peserta blog competition meliput Grand Final DetEKsi Model Competition 2K9, Surabaya (dok. koleksi pibadi)

Sabtu pagi (22/11/09) saat sarapan masing-masing dapat jatah koran JP edisi pagi itu dengan berita utama hasil DetEKsi Model Competition yang semalam kami hadiri. Di lembaran khusus DetEKsi hampir seluruhnya berisi liputan kegiatan yang tulisan berikut gambarnya disiapkan oleh anak-anak muda yang menggawangi DetEKsi. Jadilah 45 menit perjalanan ke Gresik beritanya menjadi bahan diskusi yang hangat dengan salah seorang tim hore-hore yang juga awak senior pendamping anak muda di DetEKsi, terlebih membahas tampang kucel dan muka bantal kami yang ikut dipampang di lembaran tamu JP. Sampai di halaman parkir PT Adiprima Surapeninta pabrik kertas Jawa Pos, Azrul Ananda menyambut kami dengan wajah segar dan senyum lebar meski mengaku baru meninggalkan Pakuwon jelang pagi. Azrul menjadi pemandu kami berkeliling di dalam pabrik untuk melihat dari dekat proses pengolahan berton-ton limbah kertas hingga menjadi kertas gelondongan. Untuk pasokan kertasnya, JP memproduksi sendiri dengan mendaur ulang limbah kertas hingga berbentuk kertas gulungan yang siap untuk digunakan di lingkungan grup JP. Meski namanya pabrik kertas, lantai di setiap ruangannya bersih dan mengkilap terkecuali di gudang limbah. Pengiriman kertas ke pabrik dan percetakan dalam grupnya, JP menggunakan ekspedisi sendiri PT JP Ekspedisi Mandiri. Dari pabrik, Azrul mengajak kami melihat proses naik cetak tabloid dan koran di Graha Temprina. Di aula Graha Temprina yang waktu itu masih baru, kami disuguhi nasi pecel kesukaan Dahlan Iskan yang sering disajikan di pertemuan direksi JP. Kami pun menikmati nasi pecel sambil mendengarkan presentasi Azrul tentang DetEKsi kolom khusus anak muda di Jawa Pos yang diurusinya sejak Pebruari 2000.

1330389565242275585

Azrul Ananda saat mempresentasikan DetEKsi di Graha Temprina, Gresik (dok. koleksi pribadi)

Beragam kegiatan untuk menyalurkan bakat anak muda diselenggarakan dibawah bendera DetEksi diantaranya yang berlangsung di Pakuwon itu. DetEKsi lalu mengembangkan sayap dengan membuat brand activity DBL (Development Basket League) yang kemudian menjadi PT DBL Indonesia (DetEKsi Basket Lintas Indonesia) yang khusus mengadakan lomba basket antar pelajar. DBL pertama kali diselenggarakan pada 2004 hanya dikhususkan bagi kalangan pelajar di Surabaya, lalu merambah ke Jawa Timur karena permintaan pelajar dari kota-kota lainnya. Pada tahun 2008 mulai berkolaborasi dengan NBA dengan pertandingan dilakukan di DBL Arena gedung basket sendiri yang berdiri dalam satu kawasan dengan Graha Pena Surabaya. Tahun 2010 DBL dilaksanakan di 25 kota di 10 propinsi Indonesia karena minat yang cukup tinggi dari para pelajar Indonesia untuk mengikuti kegiatan tersebut. Hanya pelajar berprestasi yang boleh mengikuti kegiatan ini artinya disamping bisa bermain basket; mereka adalah pelajar dengan prestasi akademik yang bagus di sekolahnya. Para pelajar dan pelatih yang memenangkan beberapa kategori dalam turnamen, mendapat beasiswa dan kesempatan untuk tanding basket internasional ke luar negeri seperti Australia dan Amerika. Mereka tergabung dalam team DBL All Star yang terpilih dari hasil seleksi di DBL Camp. Mereka adalah yang terbaik dari yang terbaik hasil seleksi di DBL Competition yg berhasil lolos ikut DBL Camp dan memiliki kesempatan mengikuti coach clinic dengan pemain NBA. Kesuksesan DBL membuat perwakilan klub basket peserta Indonesia Basketball League (IBL) meminta DBL untukmengelola kompetisi basket antar klub di Indonesia yang sebelumnya dikenal dengan Kobatama itu. Maka pada 2010 PT DBL Indonesia melakukan re-branding mengganti nama IBL menjadi NBL Indonesia (National Basketball League Indonesia.

1330389810327855472

Azrul Ananda saat menerima penghargaan World Young Reader Prize 2011 di Wina (dok. Jawa Pos)

Saat ini Azrul Ananda dipercaya memegang pucuk pimpinan di Jawa Pos menggantikan ayahnya yang telah membesarkan JP. Bukan suatu tanggung jawab yang mudah, karena baginya ini adalah beban berat sekaligus tantangan untuk mempertahankan apa yang telah dirintis oleh ayahnya. Grup JP kini menaungi lebih dari 151 koran daerah dan nasional serta belasan media berupa tabloid, majalah dan televisi daerah.

Sabtu petang kami kembali ke Surabaya dengan segudang gosip hangat:  muda, ganteng, pintar, rendah hati dan memegang jabatan penting di suatu perusahaan besar siapa yang tidak kagum? Berkat DetEKsi Jawa Pos mendapat predikat Newspaper of The YearWorld Young Reader Prize 2011 di Wina 12 Oktober 2011 lalu yang merupakan Top Prize Enduring Excellence (konsistensi dalam menghasilkan karya superior). [oli3ve]

sumber :http://sosok.kompasiana.com/2012/02/28/azrul-ananda-energi-muda-jawa-pos-438845.html

Dibutuhkan Sejuta Azrul Ananda Baru

Refleksi Hari Olah Raga Nasional (9 September 2010)

Oleh: Ratmaya Urip*)

Azrul Ananda, anak muda ganteng dengan tinggi badan 176 cm dan berat badan 74 kg yang lahir pada 4 Juli 1977, alumnus Ellinwood High School,  Kansas, USA dan  California State University Sacramento, 1999 itu benar-benar telah mengalihkan perhatian saya. Betapa tidak, dalam usianya yang masih sangat muda (33 tahun), telah mengukir prestasi di bidang pembinaan olah raga yang tidak ada duanya, khususnya di cabang olah raga bola basket. Tidak banyak anak muda seusianya yang dapat menyamai prestasinya.

Setiap anak muda, khususnya para pelajar di seluruh Indonesia, pasti tidak asing lagi dengan kiprahnya dalam membina olah raga basket.  Development Basketball League (DBL) Youth Events telah bermetamorfosa menjadi Indonesia’s Biggest Student Basketball Competition, secara cepat dan mencengangkan, di tengah dahaganya talenting atau pembinaan atlit muda di Indonesia. Bayangkan, kompetisi yang dimulai dari tahun 2004, atau tahun yang sama dengan tahun ketika Mark Zuckerberg memperkenalkan Facebook pertama kali, kompetisi bola basket anak muda itu kini telah menjadi events olah raga yang paling ditunggu-tunggu oleh anak muda Indonesia.

 

Seperti halnya Facebook, DBL Youth Events dibidani dan diorganisir oleh anak-anak muda, dimulai dari waktu yang bersamaan, dan sama-sama meraih prestasi di bidangnya masing-masing dalam waktu yang singkat dan spektakuler. Hanya kalau Facebook merajai dunia informasi dan komunikasi global,DBL Youth Events merajai dunia olah raga basket tanah air. Keduanya memperoleh apresiasi dan penghargaan, meskipun berbeda level. Facebook di tingkat dunia, sementara DBL di tingkat nasional.

Meskipun DBL kini juga mulai berani merambah dunia dengan kerja sama yang dijalin dengan NBA. Saya tidak tahu, apakah kesuksesan DBL diilhami oleh keberhasilan Facebook. Semoga saja tidak. Dengan cakupan penyelenggaraan DBL yang menjangkau 21 kota di 18 provinsi, yang melibatkan lebih dari 1000 tim dan 25.000 partisipan adalah buktinya. Apalagi setelah keberhasilan-keberhasilannya tersebut kemudian mulai tahun 2010 DBL dipercaya untuk melakukan take over atas pelaksanaan kompetisi bola basket profesional Indonesia, Indonesian Basketball League (IBL).

 

Terlepas dari tangan dingin yang dilakukan oleh  Azrul Ananda, nampaknya peran publikasi atau media adalah kontributor utama kesuksesan acara ini. Tentu saja tanpa mengabaikan profesionalisme individu maupun profesionalisme institusi penyelenggara, serta peran sponsor maupun para partisipan. Gegap gempita pemberitaan media, dalam hal ini Jawa Pos Group yang tersebar di seluruh Indonesia membuat kompetisi ini menjadi semarak, menggairahkan, membanggakan, menjulat keinginan untuk berprestasi dan sexy. Benar-benar exciting and fascinating competition.

 

Besarnya peran media inilah yang mengusik perhatian saya, mengapa ya, sampai saat ini tidak ada lagi anak-anak muda seperti Azrul Ananda yang kebetulan memiliki modal media Jawa Pos Group untuk mengikuti jejaknya? Seandainya ada sepuluh orang saja anak muda yang memiliki visi yang sama dan yang kebetulan memiliki media yang berpengaruh, apakah itu media cetak atau elektronik mengikuti jejaknya, pastilah ada sepuluh cabang olah raga yang dapat dikembangkan.

Apalagi kalau ada sejuta Azrul Ananda baru. Mungkin saja prestasi olah raga kita tidak seburuk saat ini.  Mengapa media nasional lebih disibukkan dengan berita-berita konsumtif di bidang olah raga, sementara yang produktif diabaikan. Banyaknya media yang hanya memberitakan atau melakukan publikasi berita atau tayangan olah raga asing, tanpa diimbangi dengan upaya-upaya yang lebih produktif seperti memfasilitasi bergulirnya kompetisi olah raga nasional, itulah salah satu biang keterpurukan olah raga Indonesia. Jawa Pos Group sudah on the right track, dengan memberikan porsi yang seimbang antara pembinaan olah raga yang bersifat konsumtif dengan yang bersifat produktif, meskipun baru sebatas olah raga bola basket.

 

Ketika di suatu kesempatan coba saya tanyakan kepada Azrul Ananda, mengapa tidak memperluas cakupan pembinaan ke cabang olah raga lain? Selalu dijawab, hanya ingin membina bola basket saja, supaya fokus. Tokh, cabang olah raga lain sudah ada pembinanya masing-masing. Namun menurut saya, pola pembinaan seperti yang dilakukan Azrul Ananda, akan sangat tepat jika juga diaplikasikan ke cabang olah raga lain. Menurut saya, paling tidak ada 1 (satu) lagi cabang olah raga individual, bukan olah raga beregu yang masih dapat dibinanya tanpa kehilangan fokus. Apakah itu cabang olah raga renang, atletik, tinju atau lainnya.

Cabang olah raga yang disebut terakhir ini memiliki kemungkinan berprestasi yang lebih baik di level regional maupun global. Alasan supaya fokus menurut saya kurang relevan jika dikaitkan dengan rendahnya prestasi olah raga kita saat ini. Tambahan satu cabang olah raga untuk dibina oleh Azrul Ananda, khususnya cabang olah raga yang lebih berpotensi untuk mendulang medali emas di tingkat regional dan global, saya kira masih dapat dilakukan oleh seorang Azrul Ananda. Apalagi jika lebih dari satu cabang olah raga. Karena sampai saat ini saya belum melihat adanya Azrul Ananda baru. Padahal untuk mendongkrak prestasi olah raga nasional masih diperlukan sejuta Azrul Ananda baru. Ini adalah langkah terobosan (bukan jalan pintas) bagi Azrul Ananda untuk mendunia seperti Mark Zuckerberg dengan Facebook-nya.

 

Tidak dapat dipungkiri, bahwa selama ini pembinaan olah raga nasional selalu melibatkan pemerintah secara langsung maupun tidak langsung, dengan berjubelnya para birokrat, baik yang masih aktif apalagi yang sudah pensiun dalam pembinaan olah raga nasional. Peran birokrat yang berlebihan akan kontra produktif, karena mereka sulit untuk fokus, ditengah upayanya untuk melayani dan menyejahterakan masyarakat di bidang lainnya. Karena tugas dan kewajiban mereka sudah sangat banyak. Namun di sisi yang lain, penguasaan dana yang masih bersumber dari anggaran belanja negara dan anggaran belanja daerah tentu saja tidak dapat mengabaikan peran birokrat, khususnya dalam kelancaran pendanaan.

 

Maka saya menjadi lebih terkagum-kagum lagi, setelah mengamati bahwa DBL diorganisir secara profesional oleh pihak swasta, dengan meminimumkan peran birokrat (baca: pemerintah) dalam pelaksanaannya. Apalagi pola pembinaan yang selama ini melibatkan sponsor dari produsen rokok atau minuman beralkohol amat sangat ditentang oleh Azrul Ananda. Menurutnya, ke depan peran sponsor dari industri rokok atau minuman beralkohol pasti akan berkurang karena ketatnya regulasi dan isu lingkungan. Hal tersebut sudah dirasakan di tingkat global, sementara di level nasional belum banyak yang menyadarinya. Apalagi olah raga seharusnya tidak boleh dikonotasikan dengan produk-produk yang bertentangan dengan kesehatan, karena kesehatan adalah modal dalam pencapaian prestasi tinggi di bidang olah raga.

 

Saya punya mimpi, seorang Azrul Ananda suatu saat nanti akan dinobatkan sebagai pembina olah raga terbaik tingkat nasional atau bahkan tingkat global, asal berani melakukan gebrakan-gebrakan pembinaan olah raga tidak hanya bola basket, dan berani meninggalkan alasan “supaya fokus”. Infrastruktur dan modal untuk itu sudah ada, tinggal keberaniannya saja.

 

Mengurai benang kusut keterpurukan prestasi olah raga nasional memang tidak mudah. Memerlukan waktu, dana, profesionalisme, dan tingkat fokus yang lebih tinggi, yang lebih besar daripada yang ada sekarang. Namun satu contoh pola pembinaan sudah nyata diaplikasikan dalam DBL dan cukup berhasil. Salah satu benih prestasi sedang ditebar, marilah kita tunggu panennya.

sumber : http://themanagers.org

Azrul Ananda’s Insight, 59 Tahun Jawa Pos: Newspaper is Dead

July 03, 2008

asrul-ananda

Newspaper is dead. Era koran sudah berakhir. Kalau belum, era koran sudah hampir berakhir. Dihajar televisi, dan yang kata orang paling mematikan–dihajar internet. Harga koran terus naik, harga online terus turun. Kertas, jarak, dan waktu terbit menjadi penjara bagi koran untuk berkembang. Warga Melawi, Kalimantan Barat, sampai sekarang baru mendapatkan koran sehari setelah terbit. Warga Bima, Nusa Tenggara Barat, masih mendapatkan koran yang beritanya terlambat sehari.

Di dua tempat itu, kalau mau, internet sudah tersedia. Belum cepat, tapi tinggal menunggu waktu (tidak lama) sebelum cepat. Ketika harga online terus turun, tidak ada alasan bagi warga-warga di sana untuk langganan koran bukan?

Ini belum bicara di Amerika Serikat, negara tempat di mana-mana orang bisa online. Secara keseluruhan koran terus turun. Yang besar-besar pun tinggal menunggu waktu untuk turun, bahkan mati.

Saya baca majalah Fortune edisi baru-baru ini. Marc Andreessen, salah satu pendiri Netscape yang juga pebisnis media (online, tentunya!), punya rencana besar seandainya memiliki koran sebesar New York Times.

Dia bilang, dia akan mematikan koran fisika itu sesegera mungkin, pindah penuh ke online. Lebih baik merasakan sakit parah sekarang daripada bertahun-tahun kesakitan, ucapnya.

Dia juga menyinggung, sangat sulit bagi New York Times untuk mengamankan masa depan, karena jajaran direksinya gaptek. Ada yang pakar binatang, ada yang pakar makanan. Tapi tak ada yang mengerti internet, katanya.

***
Beberapa waktu lalu, saya diminta untuk menjadi pembicara di acara Hari Pers Nasional, di Semarang. Menurut panitia, sudah waktunya mendengarkan pendapat orang-orang media yang masih muda. Maksudnya, yang berusia belum 40 tahun.

Saya mewakili koran, membahas tentang peran media koran dalam mewujudkan Indonesia 2030 yang ideal. Saya tidak salah ketik. Tahunnya benar-benar dua ribu tiga puluh.

Ya terus terang, tak banyak yang bisa saya sampaikan. Saya bilang, ini ironis juga. Saya merupakan pembicara termuda, tapi bicara soal media yang paling kuno. Pada 2030, saya sudah umur 52. Idealnya, ya saya sudah pensiun sejak umur 50. Lagipula, emang ya bisa koran bertahan sampai 2030?

Kemudian, ratusan insan media (kebanyakan koran) yang ada di hadapan saya waktu itu usianya maaf– tua. Bukan hanya 40-an. Tapi 50-an, bahkan ada yang 80-an.

Dalam hati, saya berpikir, Buat apa saya bicara di depan bapak-bapak ini, kalau mereka belum tentu ada pada 2030 nanti? Bicara soal koran untuk 2030, bagi saya, sangat tidak realistis. Kalau bicara soal koran, sekarang sebaiknya maksimal untuk lima tahun ke depan. No more. Sekarang saja saya pribadi sudah jauh lebih banyak baca berita lewat internet. Minimal dua jam sehari. Koran? Maksimal 20 menit.

Apakah ini berarti koran harus sepenuhnya ditinggalkan? Penentunya masih sama seperti dulu sampai sekarang: Koran itu sendiri dan pembacanya.

***

Melihat orang-orang di acara pers itu, saya pun berpikir. Masalah koran mungkin bukan hanya pada usia medianya. Tapi pada usia orang-orangnya. Perasaan yang sama saya dapati ketika mengikuti sebuah acara sepak bola nasional, beberapa waktu lalu.

Orang-orang yang mengurusi sepak bola itu masih sama dengan orang-orang yang saya baca di koran waktu masih SD dulu. Hanya satu atau dua yang usianya tidak jauh dari saya. Yang lebih muda dari saya hanya pemain.

Saya berpikir, Apa karena ini ya sepak bola Indonesia tidak maju-maju? Ilmu yang sama diputer-puter sampai habis. Orang yang satu pindah ke tempat yang lain, memuter-muter ilmu yang sama sampai habis.
Padahal, lingkungan sudah berubah, ada beberapa tingkatan generasi baru yang lebih tahu tentang ilmu-ilmu baru. Mereka hanya belum sempat mendapat kesempatan untuk menjajal ilmu-ilmu baru itu, lalu mengetahui kelemahan dan kesalahannya, karena orang-orang yang lama terus memaksakan ilmu-ilmu lama.

***

Sekali lagi, bukannya saya menyinggung mereka yang “maaf– tua. Karena saya suatu saat juga akan “maaf– tua. Dan saya kelak mungkin bakal jadi orang “maaf– tua yang mudah tersinggung.

Saya tahu betul perjuangan koran. Saya dari keluarga newspaperman. Saya tidur di atas koran mungkin sejak bayi. Waktu lulus SMP, pada 1993, saya diikutkan program siswa pertukaran ke Amerika Serikat supaya jauh dari koran. Dasar nasib, ternyata saya justru diterima dan tinggal di keluarga koran yang lain.

Pada 1993-1994, saya benar-benar bekerja di sebuah koran yang bergaya “maaf– tua. Namanya Ellinwood Leader, oplah mingguan hanya sekitar sekitar 1.500. Koran itu terbit di kota Ellinwood, Kansas, yang penduduknya hanya 2.500 dan kebanyakan “maaf– tua dan pensiunan.

Karena belum bisa berbahasa Inggris dengan baik dan benar, pekerjaan awal saya adalah fotografer, cuci cetak, sekaligus montase dan layout.
Kamera yang saya pakai masih Nikon FM-2 (full manual tanpa baterai). Cetak foto pakai enlarger (generasi sekarang mungkin sudah tidak tahu apa itu enlarger). Layout koran juga masih model gunting dan tempel di atas meja lampu. Di Jawa Pos sekarang, hanya satu atau dua orang yang pernah menjalani proses yang sama. Dan mereka sudah “maaf– sangat tua.

Semua pekerjaan harus efisien. Ngetik kepanjangan, makin panjang juga yang harus digunting. Motret hanya modal film satu roll, tidak bisa nge-bren ala machine gun seperti fotografer-fotografer digital sekarang. Habis motret pertandingan basket atau football, kalau tidak ada foto yang fokus, habislah sudah cerita koran minggu itu.

Menurut saya, segala pengalaman ini memberi saya skill set yang unik. Saya adalah generasi baru, tapi pernah menjalani dan merasakan kerja di koran gaya old school. Saya pun bisa menggabungkan efisiensi gaya lama itu dengan peralatan modern.

Jadi, sekali lagi, bukan berarti saya tidak respect dengan mereka yang –maaf– tua. Tapi, saya sudah tahu bahwa segala hal harus berubah menyesuaikan dengan zaman.

Life Will Find a Way
“Kalau mau selamat, ya reinventing saja terus menerus seperti Madonna. Dan sebenarnya, koran-koran yang ada sekarang sudah melakukan itu.”

Newspaper is dead? Mungkin.
Newspaper is dying? Mungkin.
Newspaper harus menyerah? Mungkin belum. Tapi, sudah bukan pengetahuan baru bahwa sudah makin berat bagi koran untuk melihat masa depan.
Lalu, apa yang harus dilakukan koran untuk survive? Apa yang harus dilakukan koran untuk meraih “mission impossible”: Tumbuh?
Saya bukan pakar jurnalistik. Saya juga bukan dewa koran. Saya hanya bagian dari kelompok langka, kelompok muda yang berkiprah di dunia koran. Saya juga tidak mau sok tahu, sok menuturi. Sebab, kalau begitu, saya resmi masuk kategori -maaf- tua. Dan, saya belum mau dibilang -maaf- tua. He he he…

Yang paling tahu jawabannya, mungkin, adalah Madonna.
Penyanyi yang satu ini bukanlah penyanyi favorit saya (terlalu -maaf- tua buat saya). Tapi, dia benar-benar ajaib. Dia mampu terus bertahan selama lebih dari 20 tahun. Bahkan, di usia yang sekarang hampir 50 tahun, dia masih mampu terus membangun popularitas.

Selama beberapa tahun sekali, selama lebih dari 20 tahun, Madonna reinventing diri sendiri. Dia mampu menyesuaikan karya musik dan gaya pembawaan dengan generasi yang terus berubah. Bukan sekadar menyesuaikan, dia kadang mampu mendikte generasi-generasi baru itu.

Coba bayangkan. Generasi bapak saya mungkin kenal Madonna dari lagu-lagu 1980-an seperti Like A Virgin atau La Isla Bonita. Generasi saya, yang mulai gaul pada pertengahan 1990-an, kenal dia lewat Take A Bow dan This Used To Be My Playground.

Generasi setelah saya kenal dia lewat lagu Frozen dan Music. Dan generasi sekarang kenal dia lewat lagu Four Minutes yang dia nyanyikan bareng Justin Timberlake.

Sambil berubah dalam hal musik, Madonna ikut mengubah pengemasan dirinya. Dulu jualan seksi, lalu gaya gothic, lalu gaya koboi, dan terus-menerus mengubah gaya.

Sejauh ini, Madonna terus mulus melakukannya. Cara mendengarkan musik sudah terus berganti. Generasi bapak saya beli kaset, generasi saya beli CD, dan generasi sekarang pakai iPod. Tapi, Madonna terus ngetop.
Tak heran bila bapak saya, saya sendiri, dan generasi-generasi setelah saya masih mau dengar dan joget pakai lagu Madonna. Padahal, secara fisik, mungkin makin sulit bagi penyanyi seusia Madonna untuk berjoget.
Dengan kemampuan dahsyatnya dalam reinventing diri sendiri, jangan heran kalau Madonna terus memukau (dan berjoget) saat usianya nanti mencapai 60 tahun.

Kalau Madonna bisa terus joget sampai umur ajaib begitu, mengapa koran tidak bisa terus berkiprah?

***
Sepertinya gampang. Kalau mau selamat, ya reinventing saja terus menerus seperti Madonna. Dan sebenarnya, koran-koran yang ada sekarang sudah melakukan itu.

Ada yang konstan berevolusi, ada yang gonta-ganti tampilan secara ekstrem. Ada yang mendikte perubahan di industri koran dan masyarakat, ada yang ikut-ikutan berubah meniru koran yang duluan berubah.
Ada yang berubah atau terbit dengan mengambil orang dari koran termutakhir, tapi kemudian mandek berubah sementara koran tempat orang itu berasal sudah terus berubah.

Pokoknya, selama 20 tahun saya jadi pembaca koran, sudah banyak yang berubah. Saya ambil contoh kecintaan saya terhadap balap mobil Formula 1. Dan, ini bisa sama dengan kecintaan orang lain pada sepak bola.
Dua puluh tahun lalu tidak ada siaran langsung F1. Untuk mengetahui hasil lomba yang diselenggarakan Minggu malam WIB, saya harus menunggu sampai Senin pagi lewat koran. Berita hasil yang hanya satu kolom, berisi dua atau tiga paragraf, sudah cukup untuk memuaskan keingintahuan saya.

Kalau mau ulasan lengkap, 20 tahun lalu saya rela menunggu sampai Jumat, lewat tabloid otomotif. Sepuluh tahun lalu, situasi sudah berubah. Siaran langsung F1 sudah makin mantap. Orang sudah tidak cukup lagi membaca hasil lomba pada koran edisi Senin pagi. Mereka lebih ingin prediksi dan review komplet, sebelum dan sesudah lomba.

Fungsi koran pun menjadi pelengkap siaran langsung.
Sekarang? Ulasan online makin instan dan komplet. Tidak terbatasi waktu dan besar halaman seperti koran. Masyarakat juga makin pintar, banyak yang lebih pintar soal F1 daripada yang menulis tentang F1 di koran-koran.
Koran harus bagaimana? Makin sulit bukan? Dan, ini berlaku bukan hanya untuk F1. Juga untuk olahraga-olahraga lain (khususnya sepak bola) dan bidang-bidang lain. Jawabannya… (Maaf, silakan setiap koran memikirkan sendiri-sendiri).

***
Saya bukan pakar jurnalistik, saya juga masih “anak kemarin sore” soal koran. Tapi, dalam delapan tahun terakhir berkiprah di Jawa Pos, saya juga sadar selera berita masyarakat bisa berubah begitu ekstrem. Dan, kalau ingin seperti Madonna, koran harus mampu membaca selera pasarnya. Atau mendiktenya.

Dulu, setelah reformasi, berita politik begitu ngetren. Foto tokoh politik bisa bikin koran laris. Tabloid politik bisa punya oplah sampai jutaan!

Sekarang? Maaf, politik sudah tidak laku. Saya pernah didatangi wakil agen dan penyalur Jawa Pos, tengah malam setelah penggarapan koran berakhir. Dia sengaja menunggui saya sampai penggarapan koran selesai untuk menyampaikan aspirasinya.

Dia menulis surat (tulisan tangan). Isinya, memohon dengan amat sangat agar Jawa Pos tidak memasang foto politikus, siapa pun dia. Juga agar Jawa Pos tidak memasang foto presiden, saat dia mengerjakan apa pun. “Kalau pasang foto politik, besok saya sulit jualan. Kalau saya sulit jualan, saya mau makan apa?” katanya.

Soal bencana juga begitu. Dulu, bencana alam yang menewaskan 20 orang bisa meningkatkan oplah signifikan.
Sekarang? Kalau melihat penjualan Jawa Pos (ini kami buka rahasia), mungkin orang sudah capai dengan berita bencana dan kesusahan. Khususnya setelah bencana tsunami, yang menewaskan hingga ratusan ribu orang.
Sejak tsunami, bencana-bencana lain adalah kecil. Orang sudah tidak “terkesan” lagi dengan banjir longsor yang menewaskan 60 orang.
Berita bencana ini berkaitan dengan kebombastisan berita. Dulu, saya ingat sesama koran sering “adu skor”. Siapa “menang” jumlah korban, dia yang biasanya menang di pasaran.

Sekarang? Orang sudah makin pintar. Orang sudah mengerti, yang penting bukan berapa yang mati, tapi apa yang bisa didapat dan harus dilakukan dari kejadian tersebut.

Kami buka rahasia pemasaran lagi: Berita bombastis juga sudah tidak laku.

***
Jawa Pos kemarin merayakan ulang tahun ke-59. Mewakili seluruh personel Jawa Pos, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pembaca dan rekanan yang telah mendukung selama ini.

Wow. Lima puluh sembilan tahun! Hampir dua kali umur saya!
Selama 59 tahun, Jawa Pos telah berevolusi dalam hal bentuk, penyajian, dan lain-lain. Selama 59 tahun, Jawa Pos telah melewati masa-masa indah, masa-masa sulit.

Terima kasih kepada semua pihak, Jawa Pos sekarang masih jaya. Di saat koran-koran lain menurunkan harga dan mengurangi halaman, Jawa Pos masih bisa terus berinovasi dan menambah halaman. Terima kasih kepada semua pembaca yang setia, Jawa Pos bahkan masih bisa -alhamdulillah- menaikkan harga.

Tapi, sebagai bagian dari kelompok muda, saya ingin segera melupakan 59 tahun yang sudah berlalu itu. Sekarang ini, koran seperti kembali ke tahun zero.

Tantangan yang dihadapi koran di masa depan akan semakin berat. Beruntung, sejak zaman orang-orang -maaf- tua dulu, Jawa Pos besar dengan cara yang sehat. Selalu siap berubah, selalu mau berinovasi, selalu mau bekerja keras, selalu mau lebih repot daripada koran-koran kebanyakan.
Dan, sekarang, beda dengan kebanyakan koran lain, Jawa Pos punya modal lain yang mungkin bakal membantu bertahan di masa depan. Yaitu muda.

Maksudnya bukan hanya karena koran ini punya banyak anak muda (usia rata-rata puluhan anak DetEksi 20,5 tahun, kebanyakan redaktur di usia akhir 20-an atau awal 30-an). Tapi juga karena manajemen teratasnya “muda.”
Manajemen teratas koran ini memang sudah -maaf- tua. Tapi, gaya dan energi mereka kadang lebih muda daripada yang muda.

Pak Dahlan Iskan itu selalu muda (termasuk sebelum ganti hati milik orang muda). Bu Ratna Dewi itu awet muda. Bu Nany Wijaya sampai sekarang juga terus funky. Pak Eddy Nugroho pun makin metroseksual (bagi yang kenal, lihat saja selera sepatunya. Sporty enggak, formal juga enggak. He he he he).

Masih banyak lagi orang-orang teratas koran ini yang “muda.” Dan, kalau dipikir, kayaknya resep sukses ya itu tadi. Harus awet muda.

***
Jadi, sampai kapan koran bisa bertahan?
Saya tidak mau muluk-muluk. Saya tidak mau berpikir sampai 2030. Normal saja, per lima tahun.

Seperti apa lima tahun lagi?
Saya terus terang tidak tahu. Tapi, Pak Dahlan selalu bilang, jangan terlalu berpikir muluk. Asal kerja keras terus, hasil akan datang dengan sendirinya.

Berbagai tantangan yang dihadapi koran saat ini kelak pasti akan muncul solusinya. Toh, dulu orang bilang televisi bakal membunuh radio (video kill the radio star?). Ternyata, sampai sekarang, radio juga terus eksis. Meski makin sulit menemui penyiar yang bukan “tong kosong nyaring bunyinya”, tapi radio terus berkibar.

Penyelamatnya pun tidak disengaja atau diciptakan oleh industri radio. Penyelamatnya adalah mobil! Orang tidak lagi mendengarkan radio di rumah, tapi mendengarkannya di dalam mobil.

Saya ingin mengutip omongan Dr Ian Malcolm, tokoh fiksi di film Jurassic Park (1993) yang diperankan Jeff Goldblum. Waktu itu, menanggapi “dihidupkannya kembali dinosaurus”, dia bilang bahwa “Life will find a way.”

Dinosaurus-dinosaurus di Jurassic Park mungkin sudah diciptakan sedemikian rupa agar bisa dikontrol manusia. Tapi, secara alami, mereka akan menemukan cara untuk “merdeka” dan -untuk T-Rex di film itu- memakan manusia.

Di dunia media, koran tergolong yang paling kuno, yang paling Jurassic Park. Tapi, koran telah selamat berkali-kali dari krisis harga kertas dan ancaman media format lain. Mungkin, dengan kerja keras dan energi muda, koran masih bisa selamat, minimal sekali lagi.
Life will find a way. (*)

Kasihan, di Tribun pun sang Istri Diserbu

16-Oct-2010

Berburu Yao Ming di Tengah NBA China Games 2010 di Beijing (2-Habis)

aza-yaoming

Tidak enak juga jadi Yao Ming, juga jadi istri Yao Ming, di Tiongkok. Sedikit saja kelihatan, langsung jadi sasaran ’’serbuan’’ orang. Berikut catatan AZRUL ANANDA yang baru kembali dari Beijing.

DATANG sebagai penggemar di NBA China Games 2010 sebenarnya cukup mem buahkan hasil. Dalam acara resep si VIP di Hotel Westin Beijing, Se lasa ma lam lalu (12/10), saya dan teman-te man National Basketball League (NBL) Indonesia sudah mendapatkan banyak kenang-kenangan un tuk dibawa pulang.

Hampir semua kaus, jersey, bola, dan foto yang kami bawa dibubuhi tan da tangan oleh orang-orang yang di kejar. Ada jersey New Jersey Nets nomor 34 yang diteken bintang klub itu, Devin Harris. Ada kaus yang di tan datangani bintang muda klub ter sebut, Brook Lopez. Ada pula yang di teken Jordan Farmar serta be berapa pe main Rockets seperti Shane Battier.

Tidak ketinggalan foto bareng dan tanda tangan para legenda seperti Clyde ’’The Glide’’ Drexler, Darryl Dawkins, dan Sam Perkins. Dan of course, berbincang bersama Commissioner NBA David Stern.

Sayang, target utama malam itu, bintang Houston Rockets Yao Ming dan Kevin Martin, tidak bisa didapati. Baik foto maupun tanda tangannya.

Hanya seorang di antara kami yang sempat ’’cepet-cepetan’’ dapat tanda tangan Yao Ming. Bagaimana tidak, baru 15 menit turun panggung, mereka langsung ’’melarikan diri’’ karena jadi target ’’serbuan’’ begitu banyak undangan acara.

Padahal, saat masih di balik panggung, Kevin Martin sempat memberikan kode tangan kepada kami untuk bertemu di ruang acara. Martin yang ramah itu memang familier dengan Indonesia karena Agustus 2009 lalu datang di DBL Arena Surabaya, melatih pemain- pemain muda liga pelajar terbesar, Honda Development Basketball League (DBL).

Begitu tahu para bintang Rockets cabut dari lokasi acara, saya sempat pusing juga. Sebab, kami datang dengan niat untuk bertemu Yao Ming dan bertemu ’’teman lama’’ Kevin Martin. Teman- teman NBA pun ikut bingung karena merasa tidak enak kami gagal bertemu Yao Ming.

Tidak lama kemudian, datang seorang direktur keamanan NBA China asal Australia, yang kami kenal baik karena sudah beberapa kali ke Indonesia. Dia bilang membawa pesan dari Kevin Martin. ’’Dia (Kevin, Red) mintamaafharuscepat pergi bersama yang lain. Dia meminta kamu untuk menelepon dia ke nomor ini. Janjian ketemuan di tempat lain,’’ katanya.

Teman-teman NBA juga mengupayakan agar rombongan kami tetap bisa bertemu Yao Ming dan pemain lain. Dirancanglah pertemuan di hotel tempat para pemain Rockets menginap. Di Ritz-Carlton Beijing, keesokan paginya. Ketemuan dengan Kevin Martin juga di situ.

Sebelum pulang ke hotel, temanteman sempat foto-foto dulu dengan ’’bintang-bintang yang tersisa’’ di tempat acara. Juga dengan para dancer dari New Jersey Nets dan Houston Rockets yang ikut hadir dalam resepsi malam itu.

***

Rabu pagi (13/10), kami mendapat pesan SMS dari rekan-rekan di NBA. Mereka bilang agar bersiap di Ritz-Carlton pagi pukul 09.00- an. Sebab, para pemain akan meninggalkan hotel pukul 10.00- an, menuju tempat latihan pagi.

Kesempatan bertemu pemain Rockets memang tinggal pagi itu. Setelah latihan, para pemain kembali ke hotel dan istirahat. Sebab, sorenya harus ke Wukesong Arena, menjalani pertandingan pertama melawan Nets.

Bagi kami, kesempatan memang tinggal pagi itu. Sebab, kami memang berencana langsung pulang ke Indonesia Rabu tengah malam itu, setelah pertandingan berakhir di Wukesong Arena. Ingin ketemu Yao Ming langsung, saat itulah waktunya!

Kami tiba di Ritz-Carlton pukul 09.15. Langsung nongkrong di lobi, pesan kopi, dan menunggu rekanrekan NBA yang akan mempertemukan kami dengan Yao Ming. Ternyata, rekan kami itu masih rapat koordinasi di atas. Jadi, kami diminta menunggu.

Tidak lama, tak sampai sepuluh menit, tiba-tiba ada orang tinggi banget turun ke lobi. Yao Ming! Dia sedang mengurus sesuatu di meja resepsi hotel. Tidak ingin mengganggu, saya telepon dulu rekan NBA saya di atas. ’’Boleh nggak nyerobot langsung minta foto sama Yao Ming? Daripada menunggu nanti,’’ tanya saya.

Setelah dia bilang aman, kami pun mendekati sang raksasa 226 cm tersebut. Kami bilang datang dari Indonesia, dan dia mau berfoto dengan kami. Sip! Target utama foto sama Yao Ming tercapai! Basa-basi dikit, Yao Ming pun kembali ke lift untuk naik lagi ke kamarnya.

Tidak lama kemudian, rekan NBA saya itu turun. Dia pun mencarikan Kevin Martin, untuk memberi tahu tempat kami berada. Belum lama, Martin datang. ’’How are you Azrul?’’ sapa dia. ’’Maaf, tadi malam kami benarbenar harus pergi,’’ tambahnya. Setelah saya perkenalkan dengan rekan-rekan NBL Indonesia, Martin dengan santai memenuhi semua permintaan foto dan tanda tangan kami.

Lalu, saya menunjukkan foto putri kedua saya, yang saya beri nama Alesi Maxine Ananda. ’’Alesi’’ itu dari nama pembalap Formula 1 Jean Alesi, sedangkan ’’Maxine’’ dari nama nenek Kevin Martin yang pada 2009 lalu ikut datang ke Surabaya. Sang nenek (kini 76 tahun) memang begitu baik. Jadi, ketikaputrisaya lahirtidaklama kemudian, namanya saya gunakan.

Martin tertawa melihat foto Alesi Maxine. Dia mengingatkan saya pada isi e-mail lama ketika dia memberi tahu sang nenek tentang nama itu. ’’Nenek saya menangis terharu, seperti biasa,’’ katanya.

Kami janjian ketemu lagi di Amerika, di salah satu pertandingan Rockets, November mendatang. ’’Kalau sampai, telepon saya,’’ ucapnya.

Tidak lama, Yao Ming turun lagi. Kaliinidenganpengawalanpetugas keamanan hotel. Jangankan mau foto, mendekat saja dilarang.

Usut punya usut, Yao Ming memang diberi proteksi khusus oleh Houston Rockets. Mereka tahu, Yao bakal jadi incaran semua orang selama NBA China Games 2010. Jangankan penggemar, akses media pun sangat dibatasi (dan waktu itu saya tidak datang sebagai peliput, murni sebagai penggemar yang ikut undangan VIP NBA).

’’Traveling itu berat. Perhatian besar itu berat. Satu-satunya yang saya tak sabar jalani adalah bertanding di Wukesong Arena lagi. Itu akan memberi saya kenangan indah lagi seperti ketika dua tahun lalu (di Olimpiade Beijing, Red),’’ kata Yao Ming seperti dilansir Houston Chronicles sebelum ke Beijing.

***

Houston Rockets mungkin harus bergantinama menjadiChinaRockets. Sebab, basis penggemar mereka di Tiongkok mungkin jauh lebih banyak daripada di Kota Houston, negara bagian Texas. Kota itu punya penduduk ’’hanya’’ 2,3 juta orang. Tiongkok lebih dari satu miliar.

Gara-gara Yao Ming, hampir semua pertandingan Rockets ditayangkan di Tiongkok. Garagara Yao Ming, para pemain Rockets yang lain pun dapat ’’duit manis’’ dari Tiongkok.

Selama bertahun-tahun, sangat banyak rekan Yao Ming di Rockets yang disponsori merek sepatu Tiongkok. Misalnya, Li- Ning, Peak, dan Anta. Shane Battier, bintang iklan Peak, sangatlah ngetop di Tiongkok. Luis Scola, bintang iklan Anta, juga superpopuler di sana. Bahkan, pemain rookie (pendatang baru) Rockets tahun ini, Patrick Patterson, langsung dapat kontrak sepatu Tiongkok (Peak).

Karena itu, saat bertanding di Wukesong Arena Rabu malam lalu (13/10), Rockets seperti bermain di kandang sendiri.

Saat para pemain New Jersey Nets diperkenalkan, hanya satu atau dua yang dapat sorakan penonton (kapasitas 17 ribu hampir penuh). Pemain Rockets? Semua disoraki. Khususnya Battier dan –tentu saja– Yao Ming.

Total, Yao Ming hanya bermain 19 menit malam itu (dari total kemungkinan 48 menit). Karena baru pulih dari cedera kaki, Rockets memang membatasi menit bermain sang raksasa tersebut. Tapi, itu sudah cukup untuk menyenangkan para penonton. Apalagi, pada menit-menit awal, Yao Ming sempat melakukan slam dunk yang membuat para penonton berdiri. Rockets sendiri akhirnya menang 91-81, dan Yao Ming mencetak sembilan poin. Kevin Martin mencetak 18 poin, terbanyak untuk Rockets.

Terus terang, kami tidak menonton penuh pertandingan itu. Sebagian besar harus cabut setelah half-time karena harusmengejarpesawatkembali ke Indonesia (satu jam lebih dari Wukesong ke bandara).

Tapi, kami dapat tempat nonton yang cukup asyik. NBA memberi kami tempat di blok 101, bersama tamu VIP lain dan para istri atau keluarga pemain.

Sebelum pertandingan dimulai, kami sempat heran dengan banyaknya penonton lain yang tiba-tiba menyerbu blok tempat kami duduk. Semua menuju ke seorang perempuan Tiongkok yang badannya agak tinggi. Orang-orang itu mencoba fotofoto, mencoba menyalami, atau bahkan minta tanda tangan. Semua ditolak dengan halus.

Usut punya usut, perempuan itu adalah Ye Li, istri Yao Ming (mereka menikah tahun lalu). Kasihan benar dia, meski sudah duduk, orang terus mendatanginya untuk foto dan tanda tangan. Apalagi, dia duduk di kursi pinggir, dengan jalur jalan kecil (kira-kira tepat tiga baris di depan saya).

Rupanya, para istri pemain Rockets lain kasihan melihat Ye Li. Mereka pun mendatangi Ye Li, mengajaknya untuk tukar tempat duduk. Dengan demikian, Ye Li bisa duduk dibangku tengah-tengah, menyulitkan orang lain untuk mendekat dan mengganggunya.

Di Tiongkok, Yao Ming memang begitu dipuja. Istrinya pun tidak bisa lagi mendapatkan kebebasan dan ketenangan…

NBA China Games 2010 berlanjut ke Guangzhou, di sebuah arena baru yang megah. Sabtu hari ini (16/10), Rockets dan Nets kembali bertanding di sana. Setelah itu, mereka langsung kembali ke Amerika Serikat, bersiap menghadapi musim reguler NBA 2010-2011.

Kami pun langsung sibuk begitu tiba di Indonesia. Sebab, Sabtu sore ini juga, musim reguler NBL Indonesia 2010-2011 dimulai di DBL Arena Surabaya. (habis)

Undangan Menyerbu, Pasukan Rockets Melarikan Diri

15-Oct-2010

Berburu Yao Ming di Tengah NBA China Games 2010 di Beijing (1)

Untitled-3

Yao Ming benar-benar ”dewa” di Tiongkok. Saat tampil di NBA China Games 2010, dia harus tahan ”siksaan sorotan.” Berikut catatan AZRUL ANANDA, yang baru datang dari Beijing untuk ”berburu Yao Ming” bersama rombongan National Basketball League (NBL) Indonesia.

KAPAN lagi bisa bertemu Yao Ming, raksasa 226 cm Tiongkok yang kini superstar di NBA? Kalau ”kereta Yao Ming” lewat, dan ada kemampuan, kita mungkin harus berlari dan melompat naik agar tidak ketinggalan.

Bagi saya, kereta itu ”lewat” pada 12 dan 13 Oktober lalu di Beijing. Ja ngan sampai ketinggalan kereta!

***

Sejak 2007, praktis setiap tahun Ja wa Pos Group dan PT Deteksi Bas ket Lintas (DBL) Indonesia mengi rimkan rombongan ke Tiongkok. Mereka menjadi peliput atau tamu VIP di NBA China Games, even laga ekshibisi yang dise lengga rakan liga paling bergengsi di dunia tersebut

Jalur ke sana memang mudah karena Jawa Pos Group dan DBL Indonesia (lewat liga pelajar terbesar Development Basketball League) telah menjalin kerja sama multiyear untuk pengembangan basket di Indonesia.

Tahun ini sebenarnya cukup berat untuk memenuhi undangan tahunan NBA tersebut. Sebab, jadwal kompetisi basket di Indonesia sudah sangat padat. Bukan hanya liga pelajar yang bertitel resmi Honda DBL 2010 (seri SMP sekarang berlangsung di Surabaya). Juga penyelenggaraan liga profesional baru pengganti Indonesian Basketball League (IBL), National Basketball League (NBL) Indonesia.

Kedua liga terbesar di tanah air itu –DBL dan NBL Indonesia– memang sekarang berada di bawah satu payung, PT DBL Indonesia, dan saya menjadi commissioner (seperti CEO) untuk keduanya.

Apalagi, NBA China Games 2010 dijadwalkan berlangsung pada 13 Oktober (Beijing) dan 16 Oktober (Guangzhou). Sementara seri perdana NBL Indonesia dibuka di DBL Arena Surabaya pada 16 Oktober. Yang tampil? Hous ton Rockets dan New Jersey Nets.

Kalau yang bertanding tim-tim lain, mungkin tahun ini saya memilih absen dulu dari NBA China Games. Tapi, kali ini yang datang adalah Rockets!

Ada dua alasan besar mengapa tim itu tak boleh dilewatkan. Pertama, Yao Ming. Rak sasa Tiongkok itu akan tampil sebagai pe main NBA di negeri sendiri untuk kali pertama sejak 2004.

Pada usia 30 tahun dan setelah bertahunta hun dilanda cedera, sang superstar mungkin tidak akan pernah kembali lagi untuk bertanding sebagai bintang di sebuah tim NBA. Jadi, kesempatan ini tak boleh dilewatkan.

Kedua, guard Rockets Kevin Martin. Tahun lalu Martin datang ke Surabaya, tampil sebagai bintang/pelatih di Indonesia Development Camp 2009. Dia menemui dan berbagi ilmu dengan pemain-pemain SMA terbaik di DBL. Yang paling mengesankan, dia sempat mendonasikan ratusan juta rupiah untuk membantu perkembangan DBL di Indonesia!

Oke, kalau sekadar datang untuk nonton di lapangan mungkin juga tidak terlalu meyakinkan. Tapi, sebagai tamu VIP NBA, ada pula undangan untuk menghadiri resepsi kedatang an di Hotel Westin di Financial Street Bei jing. Di acara 12 Oktober (sehari sebelum pertandingan) itu ada kesempatan bertemu langsung dengan Yao Ming, Martin, dan semua bintang Rockets dan Nets!

Saya pun memutuskan berangkat ke Beijing. Niatnya bukan sebagai peliput. Murni mencoba menikmati lagi rasanya menjadi fans (superfan?). Meski ada sedikit meeting dengan NBA untuk urusan kerja sama, dalam perjalanan ini saya benar-benar mencoba memosisikan diri sebagai penggemar (selama ini selalu jadi peliput atau menghadiri sejumlah business meeting).

Kali ini bersama beberapa rekan NBL Indonesia. Yaitu, Andiko Ardi Purnomo (pimpinan Pelita Jaya Jakarta) dan Bambang Susilo (general manager CLS Knights Surabaya). Ikut pula Harjono (teman kolektor NBA dari Surabaya) serta Cyrus Harsaningtyas (kru Pelita Jaya).

Hanya, trip kali ini sangatlah singkat. Berangkat Senin malam (11/10), sampai Selasa pagi (12/10). Selasa malam ikut welcome reception, Rabu malam (13/10) nonton per tandingan di Wukesong Arena. Lalu, Rabu te ngah malam itu juga terbang balik ke Indonesia. Tanggal 14 kemarin pagi sudah harus kembali untuk persiapan seri pembukaan NBL Indonesia di Surabaya.

Saking singkat dan padatnya, teman-teman menyebut ini perjalanan ”tiga hari satu malam.” Sebab, dua malam yang lain ”tak dihitung,” karena dihabiskan di ”Hotel SQ” (kode penerbangan Singapore Airlines).

Tiba di Beijing, semua undangan didapat dari teman-teman NBA yang sudah hadir di Tiongkok. Termasuk undangan reception plus tiket VIP di baris istimewa, satu kelompok dengan undangan VIP lain dan istri/keluarga para pemain.

Undangan siap, kaus dan merchandise lain untuk berburu tanda tangan sudah didapat. Ada kaus, foto, jersey, majalah, bola, dan se bagainya.

Tapi, ternyata, bertemu Yao Ming (dan bisa dibilang semua pemain Rockets) tidaklah semudah membawa undangan. Dan, perjalan an ini juga memberi pelajaran, menjadi Yao Ming tidak seenak yang kita bayangkan…

***

Selasa malam (12/10) kami datang lebih dini di acara resepsi. Mulai pukul 19.00, datang sejak 18.00. Supaya maksimal menikmati acara dan bertemu sebanyak mungkin bintang (dan mendapat sebanyak mungkin foto plus tanda tangan).

Satu teman lagi bergabung, Happy Saputra, seorang polisi muda Indonesia yang mendapat beasiswa belajar bahasa di Tiongkok. Pria 25 tahun itu unik. Dari dulu cita-citanya ingin membuktikan bahwa warga Tionghoa pun bisa menjadi polisi di Indonesia (dia satu-satunya di Polda Jatim).

Acara resepsi itu sebenarnya acara standar resepsi NBA. Anggap saja jumpa fans untuk VIP, di Ballroom Hotel Westin dengan tatanan mewah. Total sekitar 400 orang hadir di acara tersebut. Termasuk puluhan eksekutif NBA da ri kantor pusat New York, NBA China di Tiongkok, dan NBA Asia di Hongkong. Tentu saja, termasuk puluhan pemain, pelatih, dan ofisial Houston Rockets dan New Jersey Nets.

Tepat pukul 19.00, semua undangan boleh masuk dan langsung menikmati sajian (standing party). Para eksekutif NBA sudah di dalam. Jadi, kami pun sudah bisa berbincang santai dengan mereka. Sudah hadir pula sejumlah ”legend.” Mantan-mantan superstar NBA yang kini bekerja untuk liga itu, untuk kebutuhan-kebutuhan media dan PR.

Tampak di antaranya Clyde ”The Glide” Drexler, yang dulu andalan Portland Trail Blazers dan Houston Rockets. Lalu Darryl ”Chocolate Thunder” Dawkins, raja slam dunk era 1970-an. Yang seru –bagi saya–waktu bertemu Sam Perkins, andalan Seattle SuperSonics yang Mei lalu hadir untuk serangkaian klinik basket di Jakarta dan Medan, serta menghadiri acara launching NBL Indonesia.

Begitu melihat saya, dia langsung tersenyum lebar dan bilang, ”Hey Azrul! Nice to see you again. Sejak pulang dari Indonesia, saya selalu bilang ke orang-orang, ’Indonesia sekarang sudah punya liga.’ Semoga sukses ya.”

Dalam hati saya berpikir, ”Wih, lumayan, ada yang bantu promosikan basket Indonesia nih. Legenda NBA lagi!”

Kemudian, saya diperkenalkan pada Clyde Drexler. Mantan anggota original Dream Team di Olimpiade Barcelona 1992 itu ternya ta memang sering berkunjung ke Tiongkok. Sejak pensiun, dia menjadi salah satu bintang favorit untuk mempromosikan produk- produk di Tiongkok (negara yang memang gila basket).

”Saya mewakili beberapa perusahaan di sini. Mungkin setahun dua atau tiga kali ke sini. Total, mungkin sudah 14 kali atau lebih saya ke Tiongkok,” aku sang legenda yang kini berusia 48 tahun itu.

Para legenda ini sebenarnya punya fungsi ganda di resepsi tersebut. Mereka membuat senang para undangan karena lebih fleksibel dalam melayani permintaan foto dan tanda tangan. Yang lebih penting: Fungsi sebagai decoy (pengalih perhatian). Khususnya, ketika para pemain Rockets dan Nets mulai berkumpul di Ballroom. Jadi, para bintang utama bisa datang lebih tenang. Sebab, saat mereka masuk, para undangan sibuk ”me nyer bu” para legenda.

Kecuali mungkin untuk Yao Ming….

***

Biasanya, para bintang utama (kali ini pemain Rockets dan Nets) datang lewat belakang, muncul dari balik panggung, naik ke panggung, baru turun untuk makan dan berga bung dengan para undangan.

Entah mengapa, Selasa malam lalu Yao Ming muncul dari pintu depan. Raksasa Tiongkok itu benar-benar kelihatan raksasa. Meski ada banyak orang tinggi di dalam ballroom, pemain 226 cm itu tetap menjadi yang paling tinggi. Tentu saja, begitu tiba, Yao Ming langsung diser bu undangan untuk foto dan tanda tangan. Wajar, dia memang ”jualan utama” di NBA China Games 2010. Semestinya dia berbagi tugas dengan bintang Tiongkok lain di NBA, Yi Jianlian. Namun, karena Yi ditukar oleh Nets ke Washington Wizards, Yao pun jadi ”sendirian.”

Saya dan teman-teman dari Indonesia mera sa tidak perlu ikut menyerbu. Sebab, teman- teman NBA sudah menjanjikan waktu khusus bertemu dengannya.

Malam itu kami juga sudah sangat senang karena dapat bertemu dan berbincang de ngan Commissioner NBA David Stern (bagi saya ini pertemuan kedua), yang disebut-sebut sebagai pimpinan liga profesional terbaik di dunia. Stern, 62, ternyata cukup update soal basket di Indonesia, khususnya hubungan antara DBL Indonesia dan NBA yang dijalin sejak 2008. ”Keep up the good work,” pesannya.

Yao Ming sendiri tampak kurang nyaman menjadi pusat perhatian. Meski ada banyak pemain bintang lain, dia tampak kikuk dan terkesan ingin segera pergi dari ruang acara. Ketika dipanggil di atas panggung pun, dia mencoba ”bersembunyi.” Caranya, dengan naik panggung di barisan terakhir, lalu selalu menundukkan kepala di saat rangkaian acara di panggung

Ketika dalam pidatonya David Stern menying gung Yao Ming, sang bintang tampak langsung menundukkan kepala dan meringis. Raut wajahnya seolah bilang, ”Aduh, sudahlah! Jangan terlalu perhatikan saya!”

Setelah foto bersama, semua pemain turun bergabung bersama undangan. Seluruh barisan Nets terus santai sepanjang acara. Namun, Yao Ming dan barisan bintang Houston Rockets sempat bikin bingung banyak orang. Gara-gara langsung ”diserbu,” mereka tidak mau lama-lama, dan seperti melarikan diri ramai-ramai dari ruang acara.

Kami pun sempat panik. ”Waduh! Tidak bisa bertemu Yao Ming dong!” pikir saya waktu itu. (bersambung)

Azrul Ananda: Online Tinggal Pencet Enter

asrul-ananda
 

Mendengar tidak berarti merekam. Belajar belum tentu menerapkan. Menerima saran tidak berarti harus menuruti. Pemberi saran pun belum tentu tahu apa yang dia sarankan. Customer is kingbut customer do not know everything.

HARI ini, 1 Juli 2010, Jawa Pos merayakan ulang tahun LX1. Tahun ini, sepuluh tahun pula saya sudah menghabiskan masa muda dan masa penuh energi dan semangat saya bersama Jawa Pos.

Tapi, yang berlalu sudahlah berlalu. Kita semua sekarang tinggal di era yang menantikan masa depan. Sama seperti hukum dasar jurnalistik, yang bukan lagi 5W dan 1H. Whowhatwhenwhere, dan why plus how tidaklah lagi cukup. Harus ada W lain dan W lain.

Bertahun-tahun saya percaya ada W keenam: What’s Next? Sekarang, mungkin harus ada W tambahan yang mungkin bukan ”kata beneran”: Wow.

Jadi, seperti apa sepuluh tahun ke depan? Bagi banyak koran sekarang, sepertinya sepuluh tahun ke depan itu terkesan mengerikan. Banyak koran kesulitan berkembang. Banyak koran sudah tak sanggup bertahan. Banyak yang sudah memutuskan untuk lompat ke dunia maya. Haruskah Jawa Pos ikut terjun bebas?

***

Belum lama berlalu, saya menulis catatan berjudul Newspaper Is Dead. Kalau penasaran, google aja ”Azrul Ananda” dan ”Newspaper Is Dead”. Sangat mungkin ketemu karena ada beberapa orang memasang tulisan itu di blog mereka.

Setelah menulis, banyak yang bilang bahwa ”judulnya serem”. Tapi, setelah membaca, baru nyadar kalau isinya bukan tentang koran yang akan mati. Pada tulisan sambungannya, saya mengutip film Jurassic Park: ”Life will find a way”.

Ketika tergencet, hidup akan berjuang keras untuk menemukan jalan. Dulu radio dibilang akan hilang dimakan televisi (video kill the radio star), tapi lantas ”diselamatkan” oleh mobil (dan kemacetan).

Atau, untuk mengantisipasi dan tidak tergencet, kita harus hidup seperti Madonna. Puluhan tahun dia mampu reinventing diri sendiri, sehingga terus mampu bersaing melawan artis-artis muda yang terus bermunculan.

Pada dasarnya, untuk bertahan dan terus tumbuh, ya kita harus terus berpikir dan bekerja keras. Dan, harus stubborn (alias keras kepala alias ngeyel). Stubborn-nya tentu harus positif mempertahankan kepercayaan dan demi kemajuan, bukan stubborn mempertahankan kesalahan.

***

Dulu katanya koran akan mati melawan televisi. Dulu (dan sampai sekarang) katanya koran akan mati melawan internet. Menurut saya, lawan koran bukanlah dua-duanya. Lawan koran adalah persepsi dan jati diri sendiri.

Orang luar bilang, koran harus segera mengalah. Orang luar bilang, koran harus segera pindah haluan ke dunia maya (atau dunia integrasi atau apalah). Masalahnya, orang luar itu bukan orang koran. Dan belum tentu orang media.

Pada awal tulisan ini, saya menyebut bahwa pelanggan adalah raja, tapi pelanggan belum tentu tahu segalanya. Saat membaca itu, tolong pikiran di-open sedikit. Itu bukan berarti pelanggan bodoh. Juga, tidak berarti pelanggan bukan lagi raja.

Setiap hari, kami terus mendengar permintaan pembaca. Kami terus mendengar harapan pembaca. Kami juga berharap bisa terus mendengar permintaan dan harapan pembaca.

Tapi, saya juga percaya bahwa sebuah perusahaan akan berada dalam kondisi bahaya bila ”terlalu mendengarkan” permintaan dan harapan pelanggannya.

Seperti pelajaran marketing paling mendasar: Bahwa marketing bukan selling.

Kalau koran atau media itu sekadar sellingya dengarkan saja kemauan pembeli saat ini. Harga Rp 1.000, tidak boleh lebih. Kalau perlu gratis.

Atau, ikuti kemauan pengamat media kebanyakan: Tinggalkan format cetak, pindah ke dunia maya secara total. Parahnya, para pengamat media itu belum tentu pernah berbisnis media. Lebih parah lagi, pengamat media itu dulu sering gagal bikin media.

Kalau tidak salah, definisi marketing adalah menyediakan sesuatu yang belum tentu disadari dibutuhkan oleh customer-nya. Yang ketika kali pertama dimunculkan bikin orang heran, tapi kemudian menjadi bagian permanen dalam kehidupan orang tersebut.

Untuk bisnis media, ini bisa berarti bentuk media yang baru, yang belum pernah ada sebelumnya. Tapi, ini juga bisa berarti koran mana pun masih bisa menemukan jalan untuk kembali ke jalur besar dan terus menjadi bagian permanen bagi pembacanya.

Tinggal bagaimana koran itu meyakinkan (dengan berbagai kreativitas dan kerja keras alias dengan cara marketing) bahwa koran itulah ”pegangan” utama pembacanya, bahwa koran itulah yang dibutuhkan calon-calon pembaca barunya. Bukannya saya bermaksud menggurui, tapi kadang banyak orang yang lupa dengan prinsip paling mendasar ini.

***

Supaya koran tetap inventif dan tetap punya masa depan panjang, tentu butuh ide-ide baru, karya-karya baru. Dan yang mungkin sangat penting: Darah baru.

Belakangan saya sering keliling ke berbagai negara, bertemu orang-orang koran di sana. Setiap kali mengunjungi kantor koran, saya selalu sedih. Kok kalau bertemu manajemen ke atas selalu ketemu orang-orang tua ya?

Lalu, ketika saya bandingkan dengan koran-koran di Indonesia, saya menemukan kesamaan: Manajemen korannya penuh orang tua. Saya hampir tak pernah bertemu manajemen koran lain yang seusia dengan saya.

Maaf, tidak berarti saya menyindir orang koran yang sudah tua. Bagaimanapun, saya harus salut sama mereka semua, karena ketika muda dulu merekalah yang melakukan banyak revolusi dan perubahan.

Saya juga tidak mau kena karma, karena sepuluh tahun lagi sayalah yang akan dibilang tua! Sekarang saja sudah menjelang 33 tahun…

Menurut saya, koran belakangan tidak banyak berinovasi -khususnya dalam hal marketing– karena pelannya supply ”darah baru”. Ya, ada banyak koran baru muncul dan pergi. Hanya, kebanyakan tetap menggunakan orang-orang ”lama” dari koran lain, yang kemudian menerapkan ilmu-ilmu yang sama di koran-koran baru itu. Tak heran, hasilnya pun begitu-begitu saja…

Tentu saja, lebih mudah bicara daripada berbuat. Bagi banyak koran yang ”lama”, mungkin sudah terlambat untuk meremajakan diri. Untuk regenerasi, koran harus berani mundur selangkah untuk maju dua langkah. Padahal, belum tentu prosesnya mulus. Bisa saja mundur selangkah, setelah itu bukannya maju, malah terperosok dan jatuh ke belakang.

Mungkin karena takut mundur selangkah itulah, banyak koran lain memilih pindah jalur saja ke dunia maya… Soalnya sudah terlambat!

Jawa Pos, menurut saya, selalu siap mundur selangkah. Dan proses regenerasi adalah sesuatu yang biasa. Semoga saja ini yang kelak terus membuat Jawa Pos berkembang.

Namun, Jawa Pos saja tidak cukup untuk mengamankan masa depan koran. Koran-koran lain juga harus sadar dengan keadaan. Untuk koran-koran lain, grup Jawa Pos maupun bukan: Jangan menyerah! Dan jangan takut mengambil risiko menggunakan darah baru!

***

Tidak menyerah bukan berarti mengabaikan jalur ”alternatif”. Jawa Pos sebenarnya sudah lebih dulu bersiap terjun ke jalur dunia maya. Pada pertengahan 1990-an dulu, lewat Mega Net, Jawa Pos sudah paling dulu mempersiapkan infrastruktur online. Sayang, waktu itu investasinya terlalu dini. Belanda masih terlalu jauh.

Sekarang? Sambil full speed berkonsentrasi terus mengembangkan koran (yang memang masih terus berkembang) plus jaringan televisi lokal, tentu saja ada sambilan menyiapkan jalur maya dan lainnya.

Setiap kali ditanya soal strategi online, saya selalu bilang bahwa kita tidak perlu begitu khawatir. Beda dengan mengawali bisnis koran, mengawali bisnis media online itu jauh lebih sederhana. Mungkin saking sederhananya, nanti tinggal tekan tombol enter saja sudah jalan secara instan.

Mau besok full online? Tekan enter. Mau minggu depan? Tekan enter. Mau tahun depan sambil menunggu format dan teknologi serta momen yang pas? Tinggal tekan enter. Tidak perlu investasi mesin cetak, membangun gedung supermewah, atau lain-lainnya. Pokoknya tinggal tekan enter.

Kalau terlalu cepat, seperti Mega Net dulu, nanti seperti beli video Betamax. Kalau tanggung, nanti seperti beli Laser Disc. Kalau beli sekarang, kira-kira masih seperti beli DVD. Agak sabar, format film digital download. Tahun depan? Entah bentuknya seperti apa lagi. Makanya, sebelum tekan enter, tinggal menunggu sampai momen dan lain-lainnya benar-benar pas.

Mengapa kami tetap tenang? Sebab, kami memang siap tekan enter kapan saja. Dan ketika kami tekan enter, ada potensi content Jawa Pos bakal melebihi semua pesaing.

Bukankah hal terpenting dari bisnis media online adalah content? Kalau komputer atau super-komputer, tinggal beli saja. Infrastruktur content? Nah, bagi yang lain (apalagi media maya baru), itu perlu butuh waktu.

Bayangkan saja (dan ini sudah bukan rahasia), content yang bisa dihasilkan Jawa Pos Group untuk dinikmati di dunia maya. Ada infrastruktur komplet (wartawan dan pendukungnya) di setiap provinsi, bahkan hampir di setiap kota di Indonesia. Semua sudah terbiasa dengan gaya yang serupa.

Ada ribuan wartawan Jawa Pos tersebar dari Sabang sampai Merauke. Ada kantor Jawa Pos tersebar dari Aceh sampai Papua. Total menghasilkan lebih dari 140 koran dan sejumlah televisi lokal.

Kalau kelak Jawa Pos benar-benar menekan tombol enter, siapa pun di mana pun bisa menikmati berita dari wilayah mana pun di Indonesia.

Sekarang saja sudah ada banyak pihak asing yang ingin menggunakan content Jawa Pos di daerah-daerah. Misalnya, sebuah perusahaan telekomunikasi di Malaysia, yang ternyata memiliki ratusan ribu pelanggan asal Indonesia. Mereka ogah membeli berita nasional dari Indonesia, mintanya berita-berita lokal dari Madura, Lampung, atau daerah-daerah lain.

Pokoknya, nanti tinggal tekan tombol enter. Tidak perlu banyak energi, hanya perlu jari…

***

Tidak ada banyak orang muda yang kini serius di dunia koran. Dengan tulisan ini, orang mungkin bilang saya ini stubborn. Tidak apa-apa. Bukankah segalanya harus dimulai dengan keyakinan?

Kalau yakin koran akan terus berkembang, kita akan bekerja dan berkreasi supaya koran terus berkembang. Kalau yakin koran akan tenggelam, kita pun cenderung menyerah.

Saya tidak lagi muda, tapi saya belum bisa dibilang tua. Semoga saja saya tidak membuang masa muda saya dengan sia-sia, dan semoga saja saya dan teman-teman stubborn di Jawa Pos masih bisa membuktikan omongan saya dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan.

Tapi, saya yakin kami bisa. Dalam sepuluh tahun terakhir, kami sudah membuktikan bahwa hal-hal ”tak mungkin” bisa kami capai. Dulu, cita-cita Jawa Pos adalah menjadi koran nasional dari daerah. Sekarang, Jawa Pos sudah melebihi itu, menjadi koran di luar Jakarta pertama yang memiliki pembaca terbanyak menurut survei Nielsen.

Teman-teman di Jawa Pos itu pekerja keras dan kreatif. Dengan modal itu, masih banyak hal ”tidak mungkin” lain yang saya yakini bisa kami capai dalam tahun-tahun ke depan.

Orang bilang koran akan mati, maka kami di Surabaya akan membuktikan sebaliknya!

Impossible we doMiracle take a bit longer(*)

Jualan Barbeque untuk Bantu Biaya Tim ke Surabaya

11 September 2009 

Tulisan di bawah ini adalah tulisan atau mungkin tepatnya catatan perjalanan Azrul Ananda, Wakil Direktur Jawa Pos dan Commissioner DetEksi Basketball League (DBL), ke Australia memenuhi undangan untuk mengikuti special program dari pemerintah Negeri Kanguru itu.

AZA AUSTRALIA 09

Di Darwin, basket dikembangkan secara swasta. Koran lokalnya sedang berupaya menemukan format baru. Plus, di sana kita bisa mengagumi (dan gemetaran) melihat buaya-buaya berukuran hingga enam meter!

Azrul Ananda, Darwin

Darwin punya pantai cukup indah. Di dekat kota juga ada Sungai Adelaide yang lebar, seru untuk dijelajahi naik perahu. Tapi kita harus hati-hati. Bahkan, pantainya bukan untuk berenang atau berjemur. Sebab, buaya ada di mana-mana. Dan bukan sekadar buaya biasa, melainkan buaya-buaya yang ukurannya mencapai enam meter!

Sebelum kita bicara soal buaya, saya ingin mengucapkan terima kasih khusus dulu kepada Darwin Basketball Association (DBA). Pada Oktober nanti, mereka akan mengirimkan tim mudanya ke Surabaya, bertanding melawan tim All-Star dari DetEksi Basketball League (DBL), liga basket pelajar terbesar di Indonesia.

Kerja sama ini merupakan bukti konkret hubungan people to people antara Indonesia dan Australia, tanpa campur tangan pemerintah sama sekali. Dari DBA, kita juga bisa belajar bagaimana sebuah perusahaan swasta bisa membuat basket begitu maju di sebuah kota yang berpenduduk hanya 120 ribu orang.

Sama seperti DBL yang berbasis di Surabaya, DBA adalah perusahaan swasta murni. Sama sekali tidak mendapat sokongan dari pemerintah. Karyawan full time-nya pun hanya empat orang. Seorang executive officer (CEO), development manager, finance manager, dan seorang bagian umum.

Di luar itu, seluruh kru pendukungnya bersifat part time atau volunteer (relawan).
Namun, mereka mampu menyelenggarakan kompetisi secara rutin, mulai anak-anak sampai dewasa. Setiap tahun mereka juga mengirim ratusan pemain (dari berbagai usia) untuk bertanding di berbagai negara.

Eksistensi DBA merupakan bukti konkret betapa organisasi basket tak harus mengikuti jalur resmi dari pusat. Dengan berdiri sendiri, DBA bisa lebih cepat membuat keputusan, lebih lincah bergerak mengembangkan diri.

Bahwa DBA independen bukan berarti terpisah dari sistem pusat. Secara resmi, mereka masih bergerak di bawah Basketball Australia. Dan pemerintah setempat memberikan support besar, menyediakan infrastruktur yang memadai.

Pemerintah membangunkan DBA Stadium, sebuah kompleks yang terdiri atas lima lapanganindoor. Dua berfasilitas AC, tiga tidak. Lapangan utama dilengkapi tribun yang menampung lebih dari 500 penonton. Stadion ini terletak di sebelah Marrara Indoor Stadium, yang lebih besar dan mewah (kapasitas sekitar 1.500 penonton).

Untuk pemakaian gedung, pemerintah sama sekali tidak meminta pungutan dari DBA. Dengan catatan, DBA melakukan perawatan dan menggunakannya secara maksimal. “Kalau kami bangkrut, maka pemerintah akan mengambil alih lagi stadion ini,” jelas Allan Hilzinger, Executive Officer DBA.

Konsep ini menarik juga. Dan mungkin bisa ditiru di Indonesia. Banyak yang tahu, kota-kota di Indonesia sebenarnya punya banyak gedung-gedung berstandar lumayan tinggi. Banyak juga yang tahu, gedung-gedung itu sama sekali tidak terawat (dengan berbagai alasan khas pemerintah yang tidak perlu ditulis di sini).

Kalau pemerintah mampu membangun, tapi tak mampu merawat, mengapa tidak dipercayakan saja kepada swasta? Karena gedungnya “dipinjami,” maka pihak swastanya tak perlu menyewakan terlalu mahal. Itu kemudian berdampak mempermudah penyelenggaraan-penyelenggaraan even di sana, menstimulasi perkembangan olahraga yang bersangkutan.

Dari mana DBA mendapat pemasukan? Macam-macam. Yang utama adalah dari keanggotaan. Saat ini, tercatat sekitar 2.000 anggota DBA dari berbagai usia. Mereka membayar iuran yang terjangkau untuk ukuran Darwin (sekitar 60 dollar Australia). Plus iuran tambahan kalau ikut kompetisi-kompetisi khusus.

Untuk mengirim tim ke Surabaya Oktober mendatang misalnya. Setiap anggota yang berminat (yang usianya sesuai) tinggal membayar jumlah tertentu, membantu biaya penerbangan dan lain-lain.

Kemudian, biaya tambahan dicari dengan cara lain. Misalnya selama penyelenggaraan Top End Challenge, turnamen pramusim National Basketball League (NBL), liga paling bergengsi di Australia.

Pihak DBA buka stan barbeque. Menawarkan sandwich berisikan sosis, bacon, atau steak berharga masing-masing 5 dollar Australia. Pihak DBA juga buka meja undian. Penonton membeli tiket undian seharga 2 dollar Australia. Kalau beruntung, mendapatkan salah satu dari sekian banyak bola basket bertanda tangan bintang-bintang NBL.

Di meja pelayanan barbeque dan undian dipasangi banyak tulisan: “Semua penghasilan akan digunakan untuk keperluan tim DBA ke Surabaya.”

Selain itu, DBA juga mendapatkan dana dari sponsor. Salah satu yang besar adalah Darwin Airport Resort, hotel populer yang terletak di sebelah bandara internasional (dan tak jauh dari kompleks olahraga).

Bayangkan seandainya kota-kota “kecil” di Indonesia bisa menerapkan sistem ini. Kalau merasa tidak mendapat perhatian cukup dari pusat, bikin saja organisasi swasta. Lalu kerja keras, mencari cara untuk hidup sendiri dan tak mengomel seandainya merasa kurang diperhatikan dari pusat. Juga tidak malu “minta-minta” sumbangan.

***

Selama di Darwin, saya sempat diajak mengunjungi Northern Territory News, satu-satunya harian (berukuran tabloid) di Darwin. Tentu saja, dalam pertemuan ini saya “melepas topi basket,” menjadi wakil dari Jawa Pos (media di Indonesia).

Harian ini cukup unik. Meski satu-satunya di Darwin, harian ini cenderung bergaya sensasionalistis ala tabloid gosip atau koran kuning. Setiap hari, yang jadi headline selalu berita-berita aneh-aneh. Misalnya, “Ada Ular di Toilet.” Sampai ada guyonan, kalau tidak berkaitan dengan buaya atau ular, maka tak layak masuk halaman depan.

Untung itu kurang lebih hanya di halaman depan. Halaman-halaman dalamnya sendiri tergolong harian “standar,” dengan berita nasional, ekonomi, kota, dan olahraga.

Ternyata, ada alasan harian itu memilih jalur sensanionalistis. Menurut Evan Hannah, sang General Manager, hanya empat persen pembacanya adalah pelanggan. Sisanya eceran. Makanya, harian beroplah di kisaran 25 ribu eksemplar itu harus punya halaman depan yang mengundang penasaran orang untuk beli.

Saat pertemuan itu, kami pun diskusi tentang masa depan koran, mengejar pembaca muda, dan solusi online. Apa isinya? Maaf, saya tidak akan membahasnya lebih lanjut. Soalnya ada koran-koran lain di luar Jawa Pos Group yang ikut membaca tulisan ini. He he he he…

Yang menarik (dan membanggakan) dari pertemuan ini, dalam beberapa hal media di Indonesia bisa lebih maju dari yang di negara maju!

Agak lucu juga, sebelum pertemuan ini, seorang wakil pemerintah Northern Territory yang menemani minta saya untuk memberi “pencerahan” kepada Northern Territory News. Dia tampak begitu sebal dengan gaya harian itu yang dia anggap terlalu menggosip.

***

Selama kunjungan di Australia ini, jadwal padat memang telah disiapkan. Dalam sehari, bisa ada lima pertemuan dan acara dari pukul 07.30 pagi sampai sore atau malam.

Meski jarak dari Indonesia ke Darwin begitu dekat, perbedaan jamnya cukup membuat saya kesulitan untuk beradaptasi. Sebab, beda antara Darwin dengan Waktu Indonesia Barat (WIB) tidaklah “genap.” Melainkan “ganjil” 2,5 jam. Jadi kalau di Jakarta pukul 12.00, maka di Darwin pukul 14.30. Ini kali pertama saya harus pergi ke tempat yang selisih waktunya ada setengah jam-nya.

Banyak meeting bukan berarti tidak ada kegiatan fun. Paling seru di Darwin? Lihat buaya! Bisa lihat yang liar naik helikopter, lihat di “miniatur kebun binatang” di tengah kota, atau di taman khusus yang lebih luas di pinggiran kota.

Buaya benar-benar hal besar di Australia. Dan buaya di Australia benar-benar besar. Beruntung, saya dapat tiga cara lihat buaya.

Pertama, lewat Crocosaurus Cove, di tengah kota (di dekat pusat perbelanjaan dan perkantoran). Tempat ini merupakan miniatur kebun binatang bagi orang yang tak sempat berkunjung ke tempat lebih besar di pinggir kota atau di alam bebas.

Dengan bayar 28 dollar Aussie, kita bisa menikmatinya setiap hari pukul 08.00 pagi sampai 20.00. Di dalamnya cukup mengesankan. Banyak buaya besar (sampai panjang 5,5 meter) di dalam tangki akuarium raksasa.

Kalau mau bayar 120 dollar ekstra, kita bisa “berenang” bersama buaya-buaya itu. Tidak berenang bebas tentunya. Kita berenang di kolam tangki di sebelah tangki buaya, dipisahkan dinding kaca. Atau, kita dimasukkan ke dalam sebuah sangkar, lalu sangkar itu dimasukkan ke dalam tangki untuk bisa berinteraksi langsung secara aman.

Kurang seru? Kita juga bisa ke Crocodylus Park, tak jauh dari bandara. Ini seperti kebun binatang “normal,” dan punya lebih banyak buaya. Tiket masuk kurang lebih sama, tapi di sini lebih banyak yang bisa didapat.

Di sana, kita bisa melihat show memberi makan buaya (daging ayam digantung di kabel, lalu buaya di danau buatan melompat vertikal untuk memakannya).

Setelah itu, semua pengunjung diberi kesempatan untuk ikut merasakan serunya memberi makan buaya-buaya besar itu (banyak yang panjangnya sampai 5 meter). Cukup mendebarkan juga. Sebab, buaya-buaya itu tampak diam, tapi lantas bergerak vertikal begitu cepat untuk menangkap makanan yang kita gantung di ujung tali.

Ada pula museum buaya, termasuk di dalamnya menceritakan kasus-kasus buaya makan manusia di berbagai penjuru dunia (banyak di Malaysia).

Bagi yang ingin melakukan “pembalasan,” Crocodiylus Park juga menyediakan kafe yang berjualan daging buaya dan produk-produk kulit buaya berlisensi. Ada fillet, ada burger. Katanya daging buaya itu baik, karena rendah lemak dan kolesterol.

Di Crocodylus Park memang ada peternakan buaya, untuk mendapatkan daging dan kulitnya.

Saya tidak mencoba seperti apa daging buaya. Tapi, Broughton Robertson, Wakil Department of Foreign Affairs dan Trade dari Canberra yang mendampingi saya, sempat menjajal burger buaya. Katanya, rasanya seperti daging ayam. Saya balas: “Saya pernah baca kanibal mengaku daging manusia juga terasa seperti ayam.”

Sebenarnya, cara paling seru adalah dengan naik perahu di Adelaide River, tak jauh dari Darwin. Di sana masih banyak buaya berkeliaran liar. Saya, Robertson, dan Donny Rahardian (Basketball Operations Manager DBL Indonesia) diajak menikmati dengan cara lebih seru.

Kami diajak Jeff Blake, seorang pengusaha setempat, naik helikopternya mengelilingi Darwin. Mulanya kami putar-putar di atas kota, lalu menikmati pantai yang indah. Sayang, karena ancaman buaya, pantai tidak direnangi. Untung juga, kalau tidak, pengunjung Bali bakal banyak berkurang!

Sebelum balik ke rumahnya, Blake mengajak terbang ke “alam bebas” di luar kota. Blake menerbangkan helikopter Bell-nya rendah mengikuti alur Adelaide River, dan tak akan berputar balik sampai melihat buaya liar. Untung tidak perlu waktu lama. Saya melihat dua buaya mengapung di tengah sungai.

Darwin memang kota “kecil,” tapi ada banyak yang bisa dinikmati di sana. Dan kelak, pengin juga rasanya mengajak keluarga ke sana. Tenang, santai, dan harga relatif lebih terjangkau. Cocok untuk menjauhkan diri dan menenangkan diri dari kehidupan sehari-hari.

(bersambung)

sumber : http://www.mainbasket.com